Kamis, 05 April 2012

ISLAM DAN GAGASAN UNIVERSALITAS

  
BAB I
PENDAHULUAN
            Islam adalah agama global dan universal. Tujuannya adalah menghadirkan risalah peradaban islam yang sempurna dan menyeluruh, baik secara spirit, akhlak maupun materi. Di dalamnya, ada aspek duniawi dan ukhrowi yang saling melengkapi. Keduanya adalah satu kesatuan yang utuh dan integral. Universalitas atau globalitas islam menyeru semua manusia, tanpa memandang bangsa, suku bangsa, warna kulit dan deferensiasi lainnya.
            Bahkan semenjak abad VII H Nabi Muhamad SAW. sudah menerapkan konsep globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya ketika beliau mengirim utusannya membawa surat-surat beliau kepada para raja dan para pemimpin di berbagai negara tetangga. Dengan demikian, ketika beliau wafat maka seluruh bangsa Arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang telah dirintis oleh beliau. Perlu dipahami bahwa globalisasi islam berangkat dari kesatuan antara tataran konseptual dan tataran aktual, dan ini merupakan salah satu keistimewaan islam.
            Agama Islam bagi kita merupakan suatu keyakinan. Karena itu, sikap-sikap yang dikembangkan oleh agama Islam akan mempunyai pengaruh besar terhadap proses perubahan sosial. Peranan Islam akan diwujudkan dalam dua sikap, yaitu menopang atau merintangi, tergantung pada para pengikutnya. Guna menopang dan mengarahkan perubahan sosial tersebut, kita harus mampu melepaskan diri dari sikap-sikap yang tidak kondusif bagi kemajuan termasuk pembebasan diri dari nilai tradisional yang bersifat menghambat.
            Agama Islam juga mengajarkan kepada manusia untuk hidup dengan baik di dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang baik pula di akhirat. Dalam kenyataan terlihat bahwa keimanan dan kehidupan beragama kurang ditujukan kepada kehidupan di dunia. Akibatnya adalah kurang adanya dinamika untuk memperoleh kemajuan dalam kehidupan. Tidak ada niat yang kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan  dan teknologi yang sesuai dengan ajaran islam.

BAB II
ISLAM DAN GAGASAN UNIVERSAL
A. ISLAM DAN GLOBALISASI
            Pada perbincangan global, globalisasi sering diidentikkan dengan sebuah pemikiran ideologi kapitaslisme yang komprehenship dan meliputi segenap aspek kehidupan, meskipun aspek yang menonjol adalah ekonomi. Globalisasi sering dipahami sebagai serangan total peradaban kapitalisme yang melanda seluruh pelosok dunia –termasuk dunia islam– dan merupakan serangan yang sangat ganas dan mematikan dengan senjata kapitalisme untuk melumpuhkan seluruh bangsa di dunia, termasuk kaum muslimin.
          Sebagai ideologi, kapitalisme memiliki azas dan metode. Azas atau bisa disebut juga sebagai landasan dari kapitalisme adalah sekulerisme, yaitu sebuah pemahaman yang memisahkan antara agama dari kehidupan, tepatnya kehidupan publik. Artinya, kapitalisme percaya bahwa Tuhan itu ada dan menciptakan dan menurunkan wahyu, tetapi itu hanya untuk mengurusi agenda-agenda keagamaan. Dan karenanya, ia tidak bisa dibawa ke dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya atau aspek-aspek publik lainnya. Ini juga bermakna bahwa agama hanya mengatur urusan antara manusia dengan Tuhannya, cukup di situ dan ‘haram’ untuk mengurusi yang lain. Jika pemaknaan globalisasi dipahami seperti ini, maka berdasarkan pandangan dan doktrin-doktrin islamnya sebagian besar umat islam sepakat bahwa ini mesti tidak dijadikan sebagai paradigma atau identitas umat.
            Globalisasi yang kita pahami adalah globalisasi islam. Dalam kerangka filosofis keumatan, kita harus memahami bahwa islam adalah aturan universal yang bisa menjangkau dunia. Ia bisa melampaui ruang dan waktu, dan tak terbatasi. Globalisasi islam adalah proses mengglobalkan nilai-nilai universalitas, seperti toleransi, kebersamaan, keadilan, kesatuan, musyawarah dan lain-lain. Yang terpenting untuk dipahami bahwa bagi umat islam standarnya bukanlah berpijak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi, politik dan keserakahan budaya. Karena pijakannya yaitu wahyu, dan orientasinya adalah sebuah upaya totalitas dalam kebaikan, ketegasan untuk menegasikan kemungkaran demi cita-cita luhur penghambaan kepada Allah semata. Inilah yang kita istilahkan dengan cita-cita peradaban. Dalam hal ini teori Kuntowijoyo berada pada posisinya yang tepat. Kuntowijoyo mengistilahkannya dengan liberasi dan humanisasi yang dibingkai oleh nilai-nilai transendensi. Hal ini bisa dicermati pada isyarat Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 110,
”’kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.
          Ayat tersebut memberi isyarat kepada kita mengenai arti kesadaran sejarah bagi umat islam, yaitu yang diistilahkan oleh Kuntowijoyo sebagai aktivisme sejarah. Artinya, umat islam mesti terlibat dalam pergulatan sejarah.
          ’Mencegah dari yang mungkar’ berarti berusaha memberantas kejahatan. Misalnya, pelarangan penjualan narkotika, pemberantasan korupsi dan lain-lain. Itu juga berarti liberasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Theology of Liberation dalam islam dapat diambil dari ayat ini. Liberasi adalah pendekatan revolusioner, yang dalam konteks Indonesia masa kini biaya sosialnya terlalu mahal, sehingga jalan ini sulit ditempuh. Karena itu, umat islam hanya mengambil substansinya, yaitu usaha yang sungguh-sungguh. Revolusi biasanya berarti kekerasan, pembunuhan dan perusakkan. Dalam islam ada larangan berbuat kerusakan, sehingga revolusi negatif mesti dihindari.
          ’Beriman kepada Allah’ berarti transendensi. Dalam dunia yang penuh kejolak materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme seperti saat ini, kedudukan transendensi menjadi penting. Umat islam mempunyai kepentingan untuk memasukkan kesadaran spiritual dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam level nasional bahkan sampai pada level global.
Fenomena kehidupan saat ini menarik untuk dicermati. Realita kehidupan tak ubahnya seperti dunia di dalam rumah; semua sudah tidak mengenal jarak dan waktu. Apa yang terjadi di belahan dunia timur bisa disaksikan dengan cepat oleh penduduk dunia belahan Barat, begitu pula sebaliknya. Tak heran muncul sebuah adagium “dunia ini sudah menjadi desa buana”. Sudah tak ada yang tersimpan. Semua serba transparan.
Fakta tersebut telah menunjukan adanya sebuah bukti bahwa manusia telah menampilkan keberhasilannya dalam bidang sains dan teknologi, terutama dalam mengakses informasi. Dari sini tentu kita akan sepakat bahwa informasi adalah kebutuhan dhorûri (primer) bagi setiap manusia. Siapa yang mampu menguasai informasi, Maka ia akan mengusai dunia.
Sesungguhnya fenomena globalisasi sudah lama muncul. Hanya saja istilah ini baru muncul ke permukaan. Terma “globalisasi” berasal dari bahasa Inggris “globalization” yang berarti menyebar luaskan serta memperluas jangkauan sesuatu agar menyentuh semualapisan. Maka ia akan mengusai dunia
Globalisasi tidak hanya digunakan dalam bidang ekonomi saja, namun merupakan “ajakan” untuk mengadopsi paradigma tertentu. Hal inilah yang kemudian banyak disoroti oleh para pengamat bahwa globalisasi sebenarnya tidak jauh beda dengan “amerikanisasi”.
Hal tersebut sangat jelas kita lihat dalam fakta yang terjadi di akhir-akhir ini; globalisasi hanyalah usaha Amerika untuk memperkuat hegemoni terhadap dunia. Banyak cara untuk melegitimasi hegemoni tersebut. Melalui lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan bank dunia, mereka berusaha menguasai roda perekonomian dunia. Negara yang dianggap “penghalang” terpaksa harus disingkirkan dan harus diberi pelajaran. “Drama” tersebut bisa kita lihat dalam tragedi kemanusiaan di Afganistan, Palestina, Iran, Sudan dan selanjutnya entah negara mana lagi yang akan menjadi mangsa selanjutnya. Menyadari penyimpangan yang terjadi pada arti hakiki globalisasi tersebut, maka kita sebagai seorang muslim dituntut untuk bisa bersikap obyektif yaitu mampu melakukan pemilahan antara nilai-nilai positif (haq) dan nilai-nilai negatif (bâthil), agar sebagai umat Islam, kita tidak terjebak dalam jaring-jaring hegemoni Barat.
Kita menyadari bahwa globalisasi adalah trend sekaligus produk sejarah yang sedang terjadi dan kita alami. Kita tidak punya kekuatan untuk menolak apalagi lari dari kenyataan sejarah ini. Yang mesti kita lakukan adalah melakukan gerakan dinamis bersama arus ini yaitu dengan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali serta jati diri.
Menghadapi era globalisasi, sikap kaum muslimin bisa dikatakan terbagi menjadi beberapa macam: Pertama, mengikutinya secara mutlak. Mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan semua hal yang berbau westernisasi adalah sebuah standar ideal yang perlu untuk ditiru. Sikap semacam inilah yang hanya akan menenggelamkan umat islam dari peredaranya. Kedua, mereka yang menolak secara keseluruhan. Golongan inilah yang diistilahkan oleh Prof. Dr. Yusuf Qordhowi sebagai kelompok “penakut”. Mereka takut untuk berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat. Hal itu dinilai tidak “fair” karena dianggap lari dari kenyataan yang ada. Mereka menutup pintu rapat-rapat terhadap hembusan angin globalisasi karena takut terkena debu dan polusi peradaban. Padahal sejatinya mereka membutuhkan udara. Ketiga, golongan moderat (berada ditengah-tengah). Golongan inilah yang menjadi cerminan sikap ideal seorang muslim. Mereka sadar bahwa menutup diri serta mengisolasi diri dari dunia luar hanyalah usaha yang sia-sia belaka dan tak berguna. Mereka meyakini bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan kemajuan zaman.
Allah Swt. berfirman : “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk sekalian manusia”
Pertanyaan selanjutnya yang mengemuka adalah tentang masa depan umat islam. Setidaknya ada dua prediksi; Pertama, pesimistik. Sikap ini muncul karena melihat realita yang ada dalam tubuh umat islam sekarang, dimana untuk ukuran perkembangan sains dan teknologi umat islam berada dalam posisi yang paling bawah dan sangat termarjinalkan. Permasalahan umat islam saat ini semakin kompleks. Terjadinya dekadensi moral, kesenjangan sosial, keterbelakangan, serta pelanggaran HAM telah begitu memprihatinkan. Inilah masalah-masalah yang sedang dihadapi umat islam. Untuk memperbaikinya umat membutuhkan waktu yang lama. Kedua, optimistik. Sikap ini didasarkan pada pengamatan sejarah, dimana kita pernah mengukir kejayaan di masa lampau. Dengan sikap yang seperti itu, mereka meyakini bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar dan bergantian di antara manusia.
Sebagai umat islam, kita berkewajiban untuk berjuang dan menjunjung tinggi agama Islam. Ada beberapa tawaran alternatif: (1). Mengembalikan kesadaran umat islam yang selama ini “tertidur”. Ajaran islam harus disampaikan untuk kemaslahatan dan pencerahan manusia. (2). Bersikap inklusif terhadap budaya luar, karena sikap mengisolasi diri adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran islam ( Al-hujrat 13). (3). Berpegang teguh pada ajaran Islam sebagai sumber inspirasi peradaban. Dan yang terpenting adalah merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.  
Dalam konteks peradaban Barat, bisa dikatakan bahwa globalisasi merupakan lanjutan dari Perang Dingin, atau globalisasi bisa dianggap sebagai sebuah periode sejarah. Selanjutnya dari sisi globalisasi sebagai fenomena ekonomi. Di mana globalisasi disifati sebagai rangkaian fenomena ekonomi. Ia mencakup liberalisasi, privatisasi dan lain-lain.
Setiap masyarakat dan peradaban memiliki nilai-nilai yang diyakini. Kedudukan nilai dalam sebuah sebuah komunitas atau dalam tatanan global sekalipun bukan sekedar sebagai pemandu tetapi juga sebagai pemberi arti bagi kreativitas yang dilakukan. Nilai yang mengahrmonisasikan keragaman yang terdapat dalam sebuah tatanan seharusnya menjadi sebuah panorama kehidupan yang indah. Posisi nilai yang begitu penting, maka ia selalu melekat kuat dalam kehidupan. Ia menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas hidup pengusungnya. Nilai yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi energi yang mendorong seseorang atau sebuah komunitas untuk selalu bertekad dalam menegakkan dan bahkan membelanya.
          Dalam konteks cita merebut identitas global, identitas nilai yang dimaksud adalah nilai ke-universalitas-an islam. Kemampuan untuk menyukseskan agenda ini adalah ujian sekaligus menjadi fokus setiap elemen umat islam yang harus memilih jalan ini. Sehingga dengan demikian proposal meretas jalan kebangkitan Islam sebagaimana yang ditawarkan oleh Hasan al-Banna bahwa umat islam telah memberi hadiah peradaban gemilang kepada seluruh umat manusia di atas kemuliyaan islam yang sempurna.

B. ISLAMISASI SAINS
Kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia pasca reformasi, bahkan setelah kemerdekaan, tidak unik. Bangsa-bangsa lain di dunia juga mengalami kemelut, dengan dimensi dan keparahan yang berbeda-beda. Kerusakan ekosistem planet bumi sudah dilaporkan banyak pihak, dan terdokumentasikan dengan baik. Kegagalan Protokol Kyoto, dan pemanasan global adalah fakta di awal abad 21 ini, dan Indonesia mencatatkan diri sebagai perusak hutan nomor satu di dunia sebagaimana dilaporkan oleh Greenpeace Indonesia pada awal Mei 2007 ini. Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kriminalitas dan pelanggaran hak azasi manusia, penyalahgunaan obat, dan kekerasan antar negara dan ketidakadilan masih menghiasi awal abad 21 ini. Umat manusia saat ini sesungguhnya menghadapi permasalahan yang sama, yaitu krisis sains yang selama ini dijadikan tumpuan utama hampir seluruh kegiatan manusia.
Upaya menggagas islamisasi sains dengan demikian dapat dipahami dalam kerangka revolusi sains menurut Thomas Kuhn, yaitu bahwa perkembangan sains dimulai dari krisis paradigma ilmu normal, diikuti oleh pengajuan paradigma baru dan periode pengembangan sains normal berbasis paradigma baru ini, kemudian diikuti oleh krisis lagi dan seterusnya. Kerangka krisis paradigma sebagai perangkat revolusi atau pembaruan ilmu ini juga harus diberlakukan atas ilmu-ilmu agama yang diklaim telah diturunkan dari Al Qur’an dan Hadits. Penulis harus mengatakan bahwa perubahan paradigmatik yang paling mengundang kontroversi adalah perubahan-perubahan pada khasanah ilmu-ilmu agama karena ini berkaitan dengan dasar-dasar keyakinan manusia. Kata “Tauhid” sebagai cabang ilmu agama, misalnya, adalah sebuah kata asing dalam Al Qur’an, namun diyakini oleh mayoritas muslim dunia sebagai semacam pondasi Islam. Padahal, kata “iman” jauh lebih mendasar dan memiliki rujukan yang jauh lebih banyak dalam Al Qur’an. Akan tetapi, realitas wacana keislaman menunjukkan seolah “tauhid” lebih penting daripada “iman”.
Upaya-upaya membangun kembali sains telah dicoba dimulai melalui upaya-upaya “islamisasi sains” oleh Sir Naquib Allatas pada awal 1970-an, dan diwujudkan dalam sebuah institusi pendidikan, yaitu Universitas Islam Internasional di Kuala Lumpur pada awal tahun 1980-an yang disponsori oleh Organisasi Konferensi Islam. Kelahiran beberapa UIN dari eks IAIN di Indonesia sedikit banyak mencerminkan upaya islamisasi sains ini. Sekalipun “islamisasi sains” mungkin kontroversial, bahwa kita memahaminya sebagai upaya membangun sains baru ini. Hidayat Nataatmaja merupakan salah satu orang Indonesia yang secara cukup intens melakukan upaya-upaya semacam ini pada tahun 1980-an.
Sains bisa didefinisikan sebagai a systematic knowledge supported by facts- sebagai yang kita kenal sekarang dibangun di atas sebuah pandangan hidup yang disebut realism, yaitu sebuah filsafat yang percaya bahwa materi memiliki eksistensi nyata, terpisah dari persepsi mental manusia atas materi tsb. Sains juga dipijakkan di atas filsafat naturalism, yaitu a system of thought which rejects the supernatural and divine revelation, and holds that natural causes and laws explain all phenomena. Berbicara tentang Tuhan Sang Pencipta dalam Fisika, misalnya, amat tidak lazim, dan bertentangan dengan filsafat yang mendasari sains. Sains modern dikembangkan dengan metode ilmiah, yaitu sebuah proses mengajukan hipotesis melalui sebuah proses deduktif menggunakan logika, lalu mengumpulkan data dan fakta melalui survai atau percobaan terkendali di laboratorium, kemudian menguji dukungan fakta atas hipotesis secara induktif dengan statistik, dan menarik kesimpulan. Jika data mendukung hipotesis, maka hipotesis ini menjadi sebuah teori.
Sementara itu, berbeda dengan sains modern, ilmu-ilmu agama yang kita kenal sekarang dikembangkan berpijak pada falsafah idealism, yaitu a system of thought in which ideas are believed to be the only real things, or the only things of which we can know anything. Di pesantren dikenal definisi ilmu “al ‘ilm nurun fil qalbi” (ilmu adalah cahaya dalam hati). Jika data dan fakta itu amat penting dalam sains, maka ilmu-ilmu agama tidak memandang penting fakta atau data. Bahkan, data dan fakta tidak diperlukan untuk mendukung klaim-klaim agama ini.
Perbedaan kedua sistem berpikir dan bangun kesadaran ini menjelaskan mengapa Barat amat memahami alam, sehingga menguasai sains dan teknologi, namun seolah tidak mengenal Tuhan, sedangkan Timur tahu banyak tentang Tuhan, namun amat tidak memahami alam ini. Bahwa kedua jenis ilmu ini telah berkembang pesat selama, katakan 200 tahun terakhir, menjadi alat manusia modern memahami, mengendalikan, dan meramalkan peristiwa-peristiwa alam dan sosial, namun dunia ini justru seperti menumpuk permasalahan yang mengancam eksistensi spesies kita sendiri, membuktikan kembali adanya krisis ilmu (sains dan agama).
Beberapa kelompok ilmuwan mencoba “mengawinkan” kedua metodologi ini karena, seperti disinyalir oleh Einstein, “ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Transformasi IAIN menjadi UIN sedikit banyak mencerminkan upaya-upaya perkawinan ini. Apakah dengan mengawinkan kedua jenis ilmu ini (sains + agama) akan menyelesaikan krisis manusia modern ini ?
Dalam tulisan ini diajukan sebuah paradigma sains alternatif. Untuk tujuan ini harus dikatakan, bahwa kata “iman” dan beragam bentuk turunannya amat banyak dibicarakan dalam al Qur’an, sehingga sesungguhnya lebih layak dipakai sebagai basis sains daripada kata “tauhid” yang sama sekali tidak dipakai dalam Al Qur’an. Bahkan jibril seolah membagi Al Qur’an ke dalam sebuah sistematika tertentu, yaitu iman, islam, dan ihsan.
Al Qur’an harus dipandang sebagai kerangka sistem aksiomatika ilmu -terutama ilmu sosial- karena tidak ada keraguan di dalamnya (la rayba fii hi), bahkan memberi penjelasan atas segala sesuatu (tibyaanan li kulli syai’in). Al Quran tersusun oleh kerangka teoretik ilmu-ilmu sosial (ayat-ayat muhkamaat), sedangkan lainnya merupakan penjelasan kerangka teori ilmu-ilmu sosial tersebut yang disajikan melalui perumpamaan-perumpamaan astronomi, biologi, fisika, dsb. (ayat-ayat mutasyaabihaat). Jadi, perbedaan antara muhkamat dan mutasyabihat adalah perbedaan antara isi/kandungan dengan bungkus/kandang, bukan anatara ayat yang jelas dan yang tidak jelas. Sebab jika hal ini menyangkut ayat-ayat yang jelas dan tidak jelas, kedudukan Al Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup tidak bisa lagi dipertahankan.
Al Qur’an sendiri mengajukan definisi sains, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ar Rachman. Lima ayat pertama surat Ar Rachman memberi definisi sains alternatif, yaitu saat mendefinisikan al bayyan sebagai rangkaian informasi dari Allah swt. tentang astronomi, biologi, dan kehidupan sosial. Model kognitif atau metodologi sains alternatif bisa dirumuskan dengan memperhatikan surat Yunus : 5 yang menggambarkan metodologi sains ini melalui perumpaman astronomi. Jika realisme dan naturalisme dapat diibaratkan sebagai sebuah metode gerhana bulan (moon eclipse) , dan idealisme sebagai gerhana matahari (sun eclipse), maka metodologi alternatif ini adalah metode non-gerhana. Jika bulan melambangkan manusia, bumi melambangkan alam, dan matahari melambangkan Sang Pencipta, maka gerhana bulan menggambarkan penyembahan manusia atas alam semesta, sedangkan gerhana matahari menggambarkan penuhanan manusia atas dirinya sendiri.
Penuhanan diri sendiri yang sering dilakukan oleh para pemimpin agama gadungan digambarkan Qur’an melalui upaya-upaya kadzdzaba, yaitu “yaktubuuna al kitaaba bi aydii-him, tsumma yaquluuna haadza min ‘indillah, liyastaruu bihi tsmanan qaliilan”. Sementara penuhanan pada alam dilakukan oleh para saintis melalui proses-proses “pencurian” ilmu (tawallay), dengan mengatakan “penemuanku” daripada mengatakan “sunnatullah”.
Dalam rangka keluar dari krisis manusia modern sebagai krisis ilmu ini, ummat Islam perlu bekerja keras untuk membangun kerangka paradigmatik sains alternatif, dengan ciri pokok sebagai berikut :
  1. Menjadikan Al Qur’an sebagai sebuah sistem aksiomatika sains sosial (sunnah rasul).
  2. Sains alam (ayat-ayat mutasyabihaat) menyediakan data-data penjelasan bagi sains sosial (ayat-ayat muhkamaat) sosiologi, ekonomi, politik, sejarah. Sains sosial berada dalam hirarki ilmu yang lebih tinggi daripada sains alam.
  3. Ilmu dikembangkan dengan model kognitif atau metodologi non-gerhana, sebut saja metode “ibda’ bismillah wa akhir ha bil hamdulillah) di mana Allah swt sebagai wakil, manusia sebagai mutawakkil, dan alam sebagai ladang pengabdian manusia pada Allah swt yang senantiasa dilakukan “dengan asma Allah (bismillah), dan diakhiri dengan “sikap menyanjung kehidupan menurut ilmu Allah (al-hamdu lillah)”.
            Era informasi di millennium ketiga ini tidak dapat disangkal lagi telah mengubah pola pandang sementara penduduk dunia yang memiliki akses terhadap sains dan teknologi. Persentuhannya dengan peradaban Islam modern telah memaksa para pemikir peradaban untuk mencoba merumuskan kembali posisi kaum muslim agar mereka dapat turut serta dalam peradaban global tanpa mengesampingkan identitas keislamannya.
            Isu Islamisasi Sains pun merebak dengan berbagai pengajuan model oleh para pemikir misalnya Ahmad Baiquni, Armahedi Mahzar, Mulyadi Kartanegara dan lainnya. Dari luar negeri seperti syed Hossein Nasr, Ismail Al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Prof. Abdus Salam, Mehdi Golshani dan masih banyak yang lainnya. Mereka dengan argumentasi pro dan kontra  berusaha untuk memberikan warna khas bagi sains yang sesuai dengan pandangan Islam. Tulisan ini dimaksudkan bukan untuk membuat pandangan baru mengenai isu tersebut, apalagi mengimbangi ide para pemikir di atas, tapi lebih tepat diartikulasikan sebagai buah dari kegalauan kami yang berkecimpung dalam sains atas pro dan kontra mengenai masalah yang menurut kami hanya ”sedikit” memberikan kontribusi bagi perkembangan sains itu sendiri.
            Ada beberapa pertanyaan mendasar yang sepertinya harus diperhatikan terlebih dahulu sebelum kita dapat merumuskan pembenaran dari isu Islamisasi sains. Pertama adalah apakah dasar pembenaran dari sains, kedua seberapa jauhkah perkembangannya selama ini serta sumbangannya, ketiga dampak apakah yang telah ditimbulkan olehnya dan keempat bagaimana pandangan Islam tentangnya.
            Untuk pertanyaan keempat, karena keterbatasan tentang hal ini, kami hanya akan mengutip perkataan Imam Ali bin Abi Thalib kwh yang mengataka bahwa Hikmah  adalah sesuatu yang hilang dari tangan kaum muslimin, dimanapun hikmah itu ditemukan maka yang paling berhak atasnya adalah kaum muslimin. Selain klaim tadi  menyiratkan suatu upaya untuk memotivasi pencarian ilmu, juga untuk menegaskan bahwa ilmu adalah sesuatu yang penting bagi kaum muslimin, yang tentunya dengan tidak menyempitkan arti ilmu di atas sebagai ilmu yang hanya terkait langsung dengan kehidupan sosial atau keagamaan. Sedangkan untuk dasar pembenaran sains sendiri, seperti telah banyak diutarakan oleh para pakar, ialah bahwa sains memperoleh pembenaran melalui bukti-bukti pengamatan dari eksperimen. Memang, dalam perkembangannya sains telah menyumbangkan banyak hal yang cukup spektakuler. Tengok saja contohnya tentang perkembangan biologi-kedokteran dengan rekayasa genetiknya yang cukup merisaukan sebagian orang dilihat dari aspek moral jika rekayasa tersebut diterapkan pada manusia. Implikasinya dapat saja mengacaukan aqidah seseorang tentang makna penciptaan. Juga perkembangan rekayasa persenjataan nuklir yang pernah menciptakan perang dingin antara blok timur dan barat. Melihat implikasi seperti itu akhirnya timbullah pertanyaan apakah sains itu sebetulnya bebas nilai atau tidak. Terlepas dari ada atau tidaknya nilai yang melekat pada sains, kita harus menyadari  sejak dini bahwa sains itu sendiri haruslah bersifat objektif (sesuai kenyataan) dan selama ini memang terbukti bahwa sains objektif, karena bagaimanapun ia merupakan penggambaran penampakan realita alam.
            Sains harus dibangun berdasarkan objektivitas saintis. Tetapi, objektivitas saintis mungkin saja terintervensi oleh subjektivitasnya sendiri. Walau pada kenyataannya sulit untuk dihindari, subjektivitas tersebut harus dapat ditekan seminimal mungkin. Bagaimanapun juga, eksperimenlah yang memberikan keabsahan dari suatu deskripsi tentang alam yang mereka bangun. Berikut dua contoh yang dapat diambil mengenai hal objetivitas dan subjektivitas saintis. Penemuan partikel W dan Z oleh  tim dari CERN telah memberikan salah satu bukti kebenaran teori standar mengenai unifikasi gaya elektromagnetik dan gaya lemah yang dibangun oleh Abdus Salam, Steven Weinberg dan Sidney L. Glashow (Walau sampai saat ini teori tersebut belum dikatakan cukup mapan, karena hingga kini belum ada eksperimen yang mendeteksi keberadaan partikel Higgs yang diramalkan oleh teori mereka) yang ketiganya memiliki latar belakang sosio-keagamaan yang berbeda. Kita mungkin bertanya-tanya apakah jadinya teori Weinberg(Yahudi)-Glashow(Kristen)-Salam(Islam) jika landasannya dibangun berdasarkan pada sentimen kebangsaan atau keagamaan, ada kemungkinan mereka tidak sampai pada kesimpulan yang sama. Contoh kedua, dalam kajian kosmologi, terdapat dua cara pandang yang berbeda dalam usaha untuk memahami asal mula alam semesta. Teori pertama, diajukan pertama kali oleh Msgr. Lemaitre, seorang pendeta (seorang theis), yang kemudian berkembang dalam lingkup teori relativitas umum klasik dan lazim dikenal sebagai teori Ledakan Besar (big bang theory). Dalam teori ini dikatakan bahwa alam semesta berasal dari suatu kuantitas singular yang kemudian “meledak”. Sedangkan untuk teori kedua, berawal dari konsep no boundary proposal-nya Stephen Hawking (seorang yang cenderung atheis) dalam lingkup kuantum kosmologi, dikatakan bahwa alam semesta sekarang terjadi dari suatu fluktuasi kuantum busa ruang-waktu (quantum fluctuation of space-time foam), sehingga terjadi secara kebetulan, serta setelah berevolusi dapat diinterpretasikan bahwa alam semesta berhingga tapi tidak terbatas, dengan konsekuensi tidak ada awal dan akhir. Walau tidak jelas apakah mereka berdua mengajukan teorinya berdasarkan latar belakang masing-masing, tetapi dapat diduga bahwa subjektivitas memainkan peran disini. Lepas dari kedua teori tersebut, yang sama-sama memiliki landasan logika-matematis yang konsisten, berdasarkan hasil eksperimen Arno Penzias mengenai adanya radiasi latar belakang kosmik (cosmic background radiation) di jagat ini, sepakat dipercaya bahwa alam semesta berasal dari suatu “ledakan” besar di masa lalu, dan dari pergeseran merah Hubble dalam spektrum bintang, mendukung fakta bahwa alam semesta ini ada awalnya, walau belum ada bukti yang mendukung alam semesta akan ada akhirnya. Fakta-fakta tersebut tampaknya lebih mendukung teori Ledakan Besar yang merupakan model standar dalam kosmologi mengenai asal mula alam semesta. Hingga kini, model standar ini pun masih jauh dari harapan karena masalah singularitas yang tidak memungkinkan kita digunakannya hukum-hukum Fisika yang dikenal untuk kondisi tersebut, karena dalam singularitas ruang-waktu menjadi kehilangan makna.
            
Kembali kepada persoalan pokok Islamisasi sains. Kami tidak melihat adanya bentuk sains yang harus diislamisasikan karena memang sudah Islami, bukankah objek yan diamati oleh sains adalah ciptaan-Nya. Tetapi kami melihat adanya suatu standar bagi saintis yang “Islami”, mengapa diberi tanda kutip, karena toh diharapkan tidak hanya ilmuwan muslim saja yang memiliki pandangan positif tentang penciptaan misalnya, tetapi juga ilmuwan di luar Islam, suatu proyek menarik yang cukup ambisius, mengapa tidak? Kalaupun ingin dipaksakan untuk menggunakan retorik “Islamisasi Sains”, maka bagi kami, kalimat yang lebih tepat ialah dengan mengartikannya sebagai suatu proyek besar mengambil alih tongkat kepemimpinan sains yang selama ini berada pada peradaban Barat sekuler untuk berpindah tangan kembali kepada kaum muslimin, seperti yang pernah terjadi di abad-abad pertengahan. Melalui program-program pendidikan yang lebih diintensifkan dan mengupayakan suatu iklim yang lebih kondusif  untuk melakukan penelitian, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Kaum muslimin harus meninggalkan pernyataan-pernyataan ”kami pernah melakukan ini dan itu bagi sains”, mulailah untuk berkata ”kami akan melakukan ini dan itu bagi kemajuan sains”, sambil disertai kerja yang nyata.
Seorang teman yang terobsesi dengan Islamisasi ilmu pengetahuan pernah bertanya mengapa dalam makalah-makalah ilmiah saya tidak tercantum ayat Alquran? Ia yakin, mencantumkan ayat Alquran dalam makalah ilmiah adalah salah satu upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dalam makalah ilmiah ilmu sosial mungkin saja tercantum ayat Alquran yang terkait dengan perilaku atau sistem nilai manusia yang sedang dikaji. Dalam ilmu sosial, merujuk pada sumber Islami adalah sahih dan merupakan salah satu upaya Islamisasi ilmu sosial yang telah banyak diwarnai sistem nilai non-Islam. Namun, dalam sains yang mengkaji perilaku alam, tepatkah ayat Alquran dijadikan rujukan analisis ilmiahnya? Dan secara umum, perlukah Islamisasi sains?
Dalam sains, argumentasi ilmiah harus berpijak pada landasan yang dapat diterima setiap orang, apa pun agamanya. Ketika menyusun desertasi S3 di Jepang yang mengkaji tentang pembentukan bintang, saya sengaja menuliskan kalimat yang secara tersirat mengandung pengertian "bintang dibentuk" oleh Allah, bukan terbentuk dengan sendirinya. Profesor pembimbing saya pun mencoretnya dan mengganti kalimat itu sehingga netral tanpa nuansa konflik keyakinan akan ada tidaknya Tuhan pencipta alam.
Perlukah Islamisasi sains. Ketika semangat Islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada awal 1980-an, Direktur Direktorat Energi Nuklir Pakistan, Bashiruddin Mahmood, bersama teman-temannya mendirikan Holy Quran Research Foundation. Salah satu hasil kajiannya adalah buku Mechanics of the Doomsday and Life after Death: The Ultimate Fate of the Universe as Seen Through the Holy Quran (1987). Sayang, obsesinya mengislamkan sains tampaknya tidak mempunyai pijakan. Fenomena penciptaan dan kehancuran alam semesta yang katanya ditinjau dengan Alquran, dianalisis tanpa menggunakan sains secara utuh. Hasilnya, banyak kejanggalan dari segi sains.
Upaya Islamisasi sains yang salah arah menimbulkan kritik tajam dari Dr. Pervez Hoodbhoy, pakar fisika partikel dan nuklir dari Quaid-e-Azam University, Islamabad. Atas saran Prof. Abdus Salam (Penerima hadiah Nobel Fisika 1979), Hoodbhoy memaparkan kritiknya dalam buku Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality (1992).
Baik Hoodbhoy maupun Salam sepakat bahwa upaya Islamisasi sains telah salah langkah. Secara spesifik, Hoodbhoy mengkritik beberapa kajian yang oleh para pemaparnya --di beberapa konferensi tentang Alquran dan sains-- dianggap sebagai sains Islam. Kajian-kajian yang dikritik tajam itu antara lain tentang formulasi matematis tingkat kemunafikan, analisis Isra Miraj dengan teori relativitas, jin yang terbuat dari api sebagai energi alternatif, dan formula kuantitatif pahala salat berjamaah sebagai fungsi dari jumlah jamaah.
Sebenarnya, perlukah Islamisasi sains? Untuk menjawabnya, kita kaji lima ayat ini. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5). Lima ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca ayat quraniyah. Terkandung di dalamnya dorongan untuk membaca ayat-ayat kauniyah di alam. Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis untuk mengurai rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu kemudian didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada astronomi, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.
Maka dari esensinya, sains sudah Islami. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian teori-teori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana.
Hukum konservasi massa dan energi dinilai menentang tauhid hanya karena sering keliru disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi. Padahal, hukum ini adalah hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan, alam dan manusia hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?
Jadi, Islamisasi sains sungguh keliru. Bukan pada tempatnya menjadikan ayat Alquran sebagai alat analisis sains. Dalam sains, rujukan yang dipakai mesti dapat dipahami siapa pun tanpa memandang sistem nilai atau agamanya. contoh tentang sains sejarah Nabi Nuh a.s., bila dapat dibuktikan keberadaan tokoh ini (kapan dan di mana) secara metode ilmiah (sains) maka tokoh Nuh a.s. akan menjadi tokoh sejarah penting untuk seluruh umat manusia walaupun bagi mereka yang tidak mengenal tokoh Nuh dalam kitab suci dan keyakinannya). Tidak ada sains Islam dan sains non-Islam, yang ada saintis Muslim dan saintis non-Muslim. Pada merekalah sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam tulisan populer atau semi-ilmiah.
"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan". Maka, riset saintis Muslim berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karena-Nya pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkap mata rantai rahasia alam disyukuri bukan dengan berbangga diri, melainkan dengan ungkapan "Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa". Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia.

C. PLURALISME AGAMA-AGAMA
Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.
Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan mendesak agama-agama, termasuk kekristenan untuk menghadapi dan mengubah paradigma teologinya. Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu1. Mengembangkan teologi agama-agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya adalah teologi tradisional (Barat) yang berakar kuat dalam gereja serta resistensi
fundamentalisme kristen. Secara eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung kekristenan untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif. Sikap penolakan terang-terangan terhadap pluralisme agama dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat fatwa hasil Munas VII tahun 2005, karena paham ini bertentangan dengan ajaran Islam. 
Latar belakang munculnya gerakan Pluralisme ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme ; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.

a. Argumen Pluralisme
Dalam mengajarkan gagasan ini mereka sering mengumpamakan agama dengan tiga orang buta yang menjelaskan tentang bentuk gajah. Ketiga orang buta itu diminta untuk memegang gajah, ada yang memegang telinganya, ada yang memegang kakinya, dan ada yang memegang belalainya. Setelah mereka semua memegang gajah, lalu mereka bercerita satu sama lain; yang memegang belalai mengatakan bahwa gajah itu seperti pipa, yang memegang telinganya berkata bahwa gajah seperti kipas yang lebar dan kaku. yang memegang kaki mengatakan bahwa gajah seperti pohon besar yang kokoh.
Dengan berpijak pada cerita tersebut lalu mereka mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Bagi para penggiat pluralisme dari kalangan kaum muslimin mereka pun menyitir ayat-ayat yang mengandung gagasan pluralisme. Di antara ayat yang sering mereka sitir adalah;
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (al-Baqarah:256)
“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah:62).

b. Bantahan Terhadap Argument Pluralisme
Dengan kemampuan mereka memahami bahasa Arab yang cukup baik, mereka suka memelintir makna ayat sehingga kaum intelektual-awam agama percaya kepada mereka. Mari kita perhatikan ayat 256 surat al-Baqarah; Mereka menganggap tidak ada paksaan dalam beragama berarti pengakuan agama lain. Pemahaman demikian bukanlah pemahaman yang benar. Untuk lebih memahami makna tidak ada paksaan ini satu ayat penuh harus difahami secara utuh. Lanjutan ayat tersebut adalah, “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Jika ayat ini dibaca dengan tuntas maka akan jelas, tidak ada paksaan karena telah jelas yang benar dan yang salah, islam itulah yang benar dan yang lainnya adalah salah. Masing-masing bebas memilih dengan resiko sendiri-sendiri. Adapun kaum pluralis dalam memaksakan pemahamannya tak jarang memotong ayat tidak pada tempatnya sehingga seolah-olah benar padahal tidak benar.
Jika kita lihat ayat 62 surat al-Baqarah, sekilas memang ayat ini menjelaskan bahwa orang Yahudi jika tetap beriman dan beramal shaleh akan masuk surga. Orang Nasrani, orang Shabi’in, selama tetap beriman dan beramal shaleh ia akan masuk surga.
Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.”[Ali Imron:85]. Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan, agama, kepercayaan, dll, ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari’atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.”
Kaum pluralis itu mengambil satu ayat dengan mengabaikan ayat-ayat yang lain. Meraka abaikan ayat ;
“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imron:19).
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” 
(Ali Imron: 85).
Mereka abaikan pula ayat; “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling” (al-Taubah: 30).
“Sungguh telah kafir, mereka yang mengatakan, “Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera Maryam.”(al-Maidah: 72).
Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada satupun orang yang dikatakan kafir. Tetapi al-qur’an dengan sangat tegas menyebut orang ahlikitab yang tidak menerima Islam dengan sebutan kafir. Firman Allah
Sesungguhnya orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruknya mahluk (al-Bayyinah:6)
Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya di balik gerakan ini?
Parahnya pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing. Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama.
Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia.
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama.
Selain itu aspek penting paham ini adalah pendekatannya yang diambil dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para sufi itu pluralis Sani Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal yang sering mereka kutip, yaitu Ibnu Arabi.
Dari beberapa kajian diatas barangkali muncul suatu kesan bahwa kritik terhadap paham pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi Barat modern dan post-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur. Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika kita tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam
Demikianlah, Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama dan keyakinan. Maknanya Islam hanya mengakui adanya agama dan keyakinan di luar agama islam, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui adanya kebenaran pada agama selain Islam. Islam tetap mengajarkan bahwa agama di luar Islam adalah kesesatan, meskipun diijinkan hidup berdampingan dengan Islam.
Akhirnya, pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan dengan aqidah Islam. Islam mengajarkan keyakinan bahwa islam sajalah agama yang benar, yang diridlai Allah. Orang yang masih mencari agama selain Islam, ia akan rugi, karena amalnya tidak diterima oleh Allah. Siapapun yang mengakui kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nashrani masuk ke surga, maka dia telah mengingkari ayat-ayat al-Qur’an yang tegas dan jelas. Pengingkaran tersebut berakibat pada batalnya keislaman seseorang, na’udzubillah min dzalik.

  
BAB III
KESIMPULAN
Islam adalah aturan universal yang bisa menjangkau dunia. Ia bisa melampaui ruang dan waktu, dan tak terbatasi. Globalisasi islam adalah proses mengglobalkan nilai-nilai universalitas, seperti toleransi, kebersamaan, keadilan, kesatuan, musyawarah dan lain-lain. Yang terpenting untuk dipahami bahwa bagi umat islam standarnya bukanlah berpijak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi, politik dan keserakahan budaya. Karena pijakannya yaitu wahyu, dan orientasinya adalah sebuah upaya totalitas dalam kebaikan, ketegasan untuk menegasikan kemungkaran demi cita-cita luhur penghambaan kepada Allah semata.
Pada esensinya, sains sudah Islami. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian teori-teori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana.
Jadi, Islamisasi sains bukan pada tempatnya menjadikan ayat Alquran sebagai alat analisis sains. Dalam sains, rujukan yang dipakai mesti dapat dipahami siapa pun tanpa memandang sistem nilai atau agamanya. Tidak ada sains Islam dan sains non-Islam, yang ada saintis Muslim dan saintis non-Muslim. Pada merekalah sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam tulisan populer atau semi-ilmiah.
Pluralisme merupakan paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar