Kamis, 29 Maret 2012

ALIRAN-ALIRAN DALAM TEOLOGI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”.  Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.
Munculnya perbedaan antara umat Islam masalah teologi  yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi..
Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran teologi.



BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Timbulnya Aliran- Aliran Teologi Islam
           Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, karena begitu sentralnya tokoh seorang pribadi Muhammad SAW disamping sebagai Nabi, Rasul Beliau juga seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan, ahli Negara, sehingga ketika Beliau wafat masyarakat madinah sibuk memikirkan pengganti Beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau dan mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka waktu itu. Selanjutnya muncul persoalan ‘Khilafah’ soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara.Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat Islam diwaktu itu untuk menjadi Khalifah pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan ol.eh Umar Ibn al-Khattab dan Umar tergantikan oleh Usman Ibn Affan.
Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya, kaum keluarganya dari golongan masyarakat aristocrat/ bangsawan Mekkah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang dagang, admistrasi. Pengetahuan mereka ini sangat bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah- daerah diluar Semenanjung Arabia yang masuk dibawah kekuasaan Islam.
Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup mementang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Tindakan –tindakan politik yang dilakukan Usman kerap kali mengangkat mereka (kerabat keluarganya) menjadi Gubernur-gubernur di daerah yang tunduk kepada kekeuasaan Islam. Selanjutnya perasaan tidak senang muncul di daerah akibat dari tindakan politik yang dilakukan Usman ini. Di Mesir sebagai reaksi dijatuhkannya Umar Ibn al-Khattab yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn abi Sarh salah satu anggota kerabat keluarga Usman sebagai Gubernur mesir. 500 pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah.
Perkembangan di Madinah selanjutnya membawa persoalan pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari mesir ini. Setelah Usman wafat Ali Ibn Abu Thalib sebagai calon terkuat menjadi khalifah ke-empat. Tetapi segera setelah memimpin ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan, dorongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah, talhah, Zubeir ini dipatahkan ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 H. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dalam pertempuran ini dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Muawwiyah. Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan Usman sebagaimana halnya Talhah dan Zubeir mereka tidak mau mengakui Ali Ibn Thallib sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut andil dalam pembunuhan itu.
Dalam pertempuran Perang Siffin tentara Ali dapat mendesak tentara Muawwiyah. Namun tangan kanan Muawwiyah Amr Ibn ash yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-quran ke atas. Kelompok yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan Arbitrase (Tahkim). Sebagai perantara/ utusan diangkatlah orang-orang kepercayaan yakni: Amr bin Ash dari pihak Muawwiyah dan Abu Musa al Asy’arydari pihak Ali.

2. Aliran-Aliran Dalam Teologi Islam
A. Aliran Khawarij
Istilah Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Alasan mereka keluar, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbirtrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Khawarij merupakan aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Asy-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin, maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Dermikian pula, kaum khawarij dikenal sebagai sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh rakyat (ummat). Oleh karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, dalam tulisan ini nama Khawarij khusus diberikan kepada sekelompok orang yang telah memisahkan diri dari barisan Ali.
Pengikut Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersipat sederhana, baik dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras.
Pada masa-masa perkembangan awal Islam, persoalan-persoalan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan persoalan-persoalan teologis. Sekalipun pada masa-masa Rasulullah masih hidup, setiap persoalan tersebut bisa diselesaikan tanpa memunculkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan para sahabat. Setelah Rasulullah wafat, dan memulainya penyebaran Islam ke seluruh pelosok jazirah Arab dan luar Arab persoalan-persoalan baru pun bermunculan di berbagai tempat dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Sehingga, munculnya perbedaan pandangan di kalangan ummat Islam tidak bisa dihindari.

1. Latar Belakang Kemunculan
Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih menjadi gerakan teologis. Perubahan ini terutama setelah mereka merujuk beberapa ayat Alquran untuk menunjukkan, bahwa gerakan mereka adalah gerakan agama. dan secara terorganisir terbentuk bersamaan dengan terpilihnya pemimpin pertama, Abdullah bin Wahab Al-Rasyibi, yang ditetapkan pada tahun 37 H. (658 M). Karena pertimbangan-pertimbangan politis, Fazlur Rahman memandang bahwa Khawarij “tidak memiliki implikasi doktrinal yang menye-leweng, tetapi hanya seorang atau sekelompok pemberontak atau aktifis revolusi”.
Persoalan pergantian kepemimpinan ummat Islam (khalifah) setelah Rasulullah wafat, menjadi titik yang jelas dari semakin berlarut-larutnya perbedaan pendapat dan perselisihan di kalangan ummat Islam, bahkan menjadi isu akidah yang serius, sehingga menyebabkan munculnya berbagai aliran teologi . Terpilihnya Ali sebagai khalifah, menggantikan Usman, pertentangan dan peperangan diantara ummat Islam tidak reda. Pada akhirnya, ada upaya perdamaian diantara yang bertikai tersebut. Dua tokoh tampil, masing-masing mengatasnamakan sebagai juru pendamai dan wakil dari pihak Ali dan Muawiyah, yakni Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin Ash.
Dalam sejarah Islam, usaha perdamaian itu dikenal dengan “Majlis Tahkim”, dalam persengketaan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah pada perang Shiffin, suatu tempat di tepi Sungai Efrat, yang menyebabkan tampilnya Muawiyah sebagai khalifah. Hasil perdamaian tersebut, memunculkan kesepakatan bahwa Ali dipecat dari kursi kekhalifahan, dan Muawiyah ditunjuk sebagai penggantinya.
Setelah Muawiyah diangkat menjadi khalifah inilah, maka muncul golongan-golongan politik dilingkungan ummat islam, yakni Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Bermula dari persoalan politik, akhirnya berubah menjadi persoalan teologis, masing-masing saling menuduh dan mengeluarkan hukum dengan tuduhan-tuduhan kafir, dosa besar, dan lain-lain, sampai memunculkan persoalan sumber perbuatan manusia, apakah dari Tuhan atau dari diri manusia sendiri.

2. Faham-fahamnya
Pada masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga pokok pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir.
Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.

B. Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.
Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.

1. Faham-fahamnya
Faham aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya. Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Berdasarkan itu, maka inti faham Murji’ah adalah sebagai berikut :
Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.
Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.

2. Kelompok-kelompok Murji’ah
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.
Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.

C. Aliran Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Golongan pertama, muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut pendapat, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari. Golongan kedua, muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.

1. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam".
Aliran mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu'tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah, pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak

D. Aliran Jabariah dan Qodariah
Jabariah adalah aliran di ilmu kalam yang berpandangan bahwa segala yang wujud di alam semesta, termasuk manusia, terikat pada kodrat dan irodat Allah SWT semata. Jabariah adalah pemahaman yang mengatakan bahwa amal shalih bukanlah sebab masuknya kita ke sorga dalam segala hal, dan sebaliknya adalah Qadariyah, yang meyakini bahwa sorga adalah bayaran dari amal kita secara mutlak. dan kedua faham ini batil, bahwa kita beramal dan Allah swt menentukan diterimanya amal itu atau tidak. tentunya kita tak berpangku tangan, tidak pula mengandalkan amal untuk memastikan masuk sorga dan bebas dari neraka.
Aliran Qadariah muncul sekitar tahun 70 H ( 689 M ). Ajaran-ajaran ini banyak persamaannya dengan Mu’tazilah. Kehadiran Qadariah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariah tetap berkembang. Dalam perkembangannya, paham ini tertampung dalam madzhab mu’tazilah.
Kata jabariah berasal dari kata “jabara” yang berarti “memaksa”. Secara istilah Jabariah adalah suatu golongan yang mengatakan segala perbuatan manusia sesungguhnya datang dari Allah dengan kata lain segala perbuatan manusia terpaksa dilakukan.
Faham ini berasal dari memahami beberapa ayat-ayat Al-Qur’an, diantara Ayat yang menjadi alasan faham ini adalah :
“Allah menciptaan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-Shaffat: 96)
Qodariah berasal dari bahasa Arab yaitu qadara artinya kemampuan dan kekuatan, sedangkan arti terminologinya adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan atau perbuatan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.
Golongan ini menyatakan bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan, seperti ayat Qur’an menyatakan :
 “ Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau (beriman) beriman lah ia, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir (Q.S. Al-Kahfi : 29)
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, kecuali mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra’ad : 11)

1. Tokoh-tokoh Jabariah dan Qodariah
Faham Jabariah pertama kali dipopulerkan oleh Ja’d bin Dirham di Basrah. Ide jabariah ini kemudian terpelihara dalam gerakan pemikiran muridnya yaitu Jahm bin Shafwan, yang kepadanya dinisbatkan aliran Jahmiyah. Di samping menerima ide jabariah, Jahm juga mengembangkan pemikiran-pemikiran lain seperti mengemukakan pendapat bahwa surga dan neraka bersifat fana, iman adalah ma’rifah dan kekufuran adalah jahl, kalam Allah bersifat tidak qadim, Allah bukan sesuatu dan tidak bisa dilihat pada hari kiamat.
Sedangkan faham Qadariah dengan tokoh utamanya Ma’bad bin Khalid al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi menyatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak Allah. Jadi, perbuatan manusia berada di luar ruang lingkup kekuasaan atau campur tangan Allah.

2. Ajaran-ajaran Jabariah dan Qodariah
1. Ajaran-ajaran Jabariah terbagi menjadi dua golongan yaitu:
a. Golongan Ekstrim
Mengatakan bahwa segala sesuatu perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan pada dirinya.
Pendapat Jham bin Shofyan orang dari khurasan dan tinggal di Khuffah mengatakan tentang teologi Jabariah Ekstrim adalah:
  1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, tidak mempunyai pilihan.
  2. Surga dan neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Tuhan
  3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
  4. Al-qur’an adalah makhluk.
b. Golongan Moderat
Mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan baik dan buruk, tetapi manusia mempunyai bagian didalamnya.
Pendapat An-Najjar (wafat : 230 H) diantara pendapatnya dari Jabariah Moderat dari golongan Jabariah Moderat adalah :
1. Tuhan menciptakan segala sesuatu perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat nanti, tetapi Tuhan bisa saja memindahkan hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
Namun secara garis besarnya Ajaran faham mereka adalah;
a.  Iman dan taat, serta kufur dan maksiat semata-mata dari Allah. Tiada manusia berbuat, bercita-cita dan berdoa.
b.  Gugur taklif syarak daripada hamba.
c.  Berbuat baik tidak dapat kebajikan atau pahala, berbuat maksiat tidak dapat  balasan dan putus asa daripada rahmat Allah.
d.  Berbuat baik tidak dapat pahala, berbuat jahat tidak dapat siksa.
e.  Tafakur itu lebih baik daripada segala ibadah fardhu atau sunah.
f.  Siapa yang menjadi kekasih Allah dan bersih daripada hawa nafsu yang jahat dan berilmu tidak perlu lagi berbuat amal ibadah.
g.  Bahwa orang-orang kafir dan ahli-ahli maksiat tidak akan ditanya di akhirat kelak karena segala-galanya itu Allah yang melakukannya.
h.  Bahwa Allah tidak menyiksa semua hamba-hambanya, kalau Allah menyiksa
juga maka Allah itu zalim.
i. Allah meghidupkan semua yang kafir dan segala orang yang bersalah di dalam neraka, setelah itu dimatikan pula dan tidak hidup lagi selama-lamanya.
j. Apabila Allah selesai menciptakan makhluk maka beristirahatlah Ia. Setiap suatu yang zahir pada waktunya yang ditetapkan itu, dengan sendirinya putus hubungan dengan Allah.
k. Apabila sampai kepada derajat kekasih Allah (wali Allah) yang tinggi gugurlah taklif syara’ hanya tafakkur semata-mata.
l. Harta dunia bersyarikat di antara semua keturunan Adam dan Hawa, halal mengambilnya tidak hak tagihan ahlinya.
m. Apabila terasa dalam hati hendak melaksanakan sesuatu kebajikan atau kejahatan hendaklah segera mengerjakannya karena itu wahyu Allah yang dimasukkan di dalam hati.
n. Barangsiapa belajar ilmu jadilah ia berada dalam syirik dan meneguhkan daripadanya jadilah ia kafir.
o. Bahwa semua yang difardhukan oleh Allah boleh dikerjakan jika rajin dan boleh ditinggalkan jika malas.
p. Segala perintah Allah itu hanya sekali saja tidak berulang-ulang.
q. Hamba tiada mukallaf selain daripada iman dan kufur.
r. Disebut mukmin hanya mengucap dua kalimah syahadat, menghilangkan dua kalimah syahadat jadi kafir. Tidak perlu lagi melaksanakan lebih daripada itu.

2. Ajaran-ajaran Qodariah
Golongan ini menyatakan bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan, dan secara garis besar Ajaran faham mereka adalah;
a. Segala usaha ikhtiar, semata-mata dari Manusia. Tiada campur tangan Allah dalam perbuatan itu.
b.     Syaitan itu serupa dengan Allah kerana tidak mempunyai wujud yang nyata.
c.     Berbuat kejahatan itu seperti syaitan dan berbuat kebaikan itu seperti Allah.
d.     Qada’ dan Qadar itu bukan daripada Allah.
e.     Beramal ibadah itu sia-sia karena tiap-tiap baik dan jahat itu azali.
f.      Tidak ada syurga, neraka, hisab, mizan dan belum dijadikan Allah.
g.     Bahwa segala amal ibadah daripada hamba semata-mata tidak diketahui memperoleh pahala atau siksa jika melaksanakan atau meninggalkannya.
h.     Bahwa Allah tiada menjadikan syaitan karena jika Allah menjadikan syaitan maka Allah juga menjadikan kekufuran maka sesungguhnya Allah itu berkehendak wujud kekufuran.
i.       Bahwa segala amal ibadah Allah semata-mata iman dan kufur.
j.      Benci kepada shalat fardhu dan suka kepada shalat sunah. Maka shalat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat saja.
k.     Segala kitab-kitab Allah yang turun dari langit tidak mansuh, wajib beramal dengan semua isi kandungannya.

 E. Aliran Syi’ah
Syi`ah adalah kelompok aliran aqidah yang secara umum menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Di dalam tubuh syi`ah sendiri ada banyak sekte dan pecahan. Diantaranya yang paling terkenal adalah Syi`ah Imamiyah atau Syi`ah imam 12.
Penyimpangan Aqidah Meski latar belakang awal mula berdirinya lebih merupakan masalah politis, namun pada perkembangan berikutnya, kelompok Syiah berkembang menjadi sebuah paham aqidah tersendiri yang menyimpang. Penyimpangan itu bila disimpulkan antara lain :
1. Sekte dalam Syiah berkeyakinan bahwa Jibril salah menurunkan wahyu kepada Muhammad, seharusnya kepada Ali bin Abi Thalib.
2. Mereka memiliki mushaf Al-Quran versi mereka sendiri yang isinya tidak sama dengan mushaf yang dikenal sekarang ini. Kulaini menjelaskan dalam bukunya bahwa Ja`far Shodiq berkata, Kami mempunyai mushaf  Fathimah. Sebuah mushaf yang isinya seperti Al-Quran kalian 3 kali. Demi Allah, tidak ada satu huruf pun isinya dari Al-Quran kalian.
3. Mereka meyakini bahwa imam mereka ada 12 dan semuanya memiliki mukjizat seperti Nabi dan telah diberi wasiat dan rahasia ajaran Islam. Sehingga mereka berhak menerangkan ajaran Islam yang orang lain tidak diberitahu menjadi rahasia mereka sendiri. Mereka yakin bahwa para imam  itu dititipi ilmu oleh Rasulullah SAW untuk menyempurnakan syariat. Tidak  ada perbedaan antara imam dengan Rasulullah SAW kecuali bahwa Rasulullah SAW menerima wahyu.
4. Para imam itu diyakini berada pada derajat ma`shum yang tidak mungkin berdosa dan terpelihara dari segala kesalahan, kelalaian serta dosa-dosa baik besar atau kecil.
5. Mereka meyakini bahwa imam mereka yang ke-12 sedang ghaibah (menghilang) ke dalam sebuah gua di Samara (surro man ra`a), sebuah kota kecil di Iraq dekat sungai Tigris utara Baghdad. Suatu hari nanti imam ke-12 itu akan muncul lagi (roj`ah). Karena itu sekarang setiap ba`da maghrib mereka rajin berdiri di pintu gua bahkan menyediakan sebuha kendaraan untuk pergi. Perbuatan ini terus berlangsung tiap malam.
6. Harapan mereka imam itu akan datang untuk memenuhi keadilan sebagaiman bumi sedang dipenuhi dengan kekejaman dan kezoliman. Imam ke-12 ini juga akan melacak lawan-lawan syiah sepanjang sejarah.
7. Kebencian mereka kepada para sahabat Nabi dan mengatakan mereka berdosa telah merampas khilafah dari Ali bin Abi Thalib. Sebagian syiah malah mengkafirkan para shahabat Nabi radhiyallahu anhum. Sebaliknya mereka mengagungkan ahlul bait atau keluarga nabi. Ahlul bait ini adalah para shahabat nabi yang utama, tetapi oleh kelompok syiah ini, ahlul bait diseret-seret masuk dalam perangkap aqidah mereka, sehingga seolah-olah antara ahlul bait dengan shahabat yang lain ada pemisah dan permusuhan.
Padahal di zaman para shahabat, syiah yang sesat seperti ini belum lagmuncul. Bahkan Hasan dan Husein serta Ali Zaenal Abidin yang sering mereka klaim sebagai imam mereka pun tidak tahu menahu dengan ulah syiah sesat ini. Syiah yang sesat ini baru muncul jauh di kemudian hari setelah generasi para shahabat dan sebagian tabi`in telah meninggal. Aktor intelektual di belakang syiah sesat ini tidak lain adalah Abdullah bin
Saba` yang dalam sejarah otentik terbukti menjadi provokator di wilayah- wilayah Islam.
Dia telah menyebarkan fitnah, berita bohong, kebencian kepada para shahabat serta paham yang merusak. Dia tidak lain adalah yahudi Yaman yang berpura-pura masuk Islam. Identitas keyahudiannya sangat menonjol ketika dia mengajarkan tentang imam yang akan muncul (raj`ah), tidak mati, menjadi raja di bumi, mengathui apa yang tidak diketahui orang dan lain-lain. Ini tidak lain berakar pada paham yahudi, agama yang dipeluknya masih diakuinya bahwa selama ini dia masih beragama yahudi. Ali bin Abi Thalib sendiri sebagai tokoh yang dijadikan umpan oleh Abdullah bin Saba` untuk memunculkan konflik di antara para shahabat, bukan tidak tahu ulahnya. Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri yang berkehendak untuk membunuhnya. Namun atas nasehat dari Abdullah bin Abbas, musuh islam itu tidak jadi dibunuh namun di buang ke Madain. Sosok Abdulah bin Saba` oleh para pengikut fanatik syiah sering dikabur-kaburkan dan dengan segala argumentasi mereka mengatakan bahwa Abdullah bin Saba` adalah tokoh fiktif serta sekedar tokokh rekaan musuh- musuh syiah. Padahal sejarah dunia telah mengenal sosok ini dengan beragam ulahnya meski mereka memungkiri dengan berbagai dalih.

F. Aliran Murji'ah Aliran
Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:
  1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima kalangan Murjites sendiri, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam merupakan satu kesatuan.
  2. Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum kafir. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak menjatuhkannya di akhirat.
Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (dipelopori Hasan bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Tholib) dan kelompok ekstrem (dipelopori Jaham bin Shofwan).



BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, karena begitu sentralnya tokoh seorang pribadi Muhammad SAW disamping sebagai Nabi, Rasul Beliau juga seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan, sehingga ketika Beliau wafat masyarakat madinah sibuk memikirkan pengganti Beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau dan mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka waktu itu.
Perkembangan di Madinah selanjutnya membawa persoalan pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari mesir ini. Setelah Usman wafat Ali Ibn Abu Thalib sebagai calon terkuat menjadi khalifah ke-empat. Tetapi segera setelah memimpin ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan, dorongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah, talhah, Zubeir ini dipatahkan ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 H. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dalam pertempuran ini dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali dan Muawiyah adalah awal muncul dari konflik politik besar yang menyebabkan terjadinya aliran teologi dalam islam.





PERKEMBANGAN ILMU BAHASA

Sejarah perkembangan ilmu bahasa pada dasarnya bisa dikatakan bermula dari dua dunia, yaitu dunia Barat dan dunia Timur. Secara kebetulan bermulanya sejarah bahasa di dunia Barat dan di dunia Timur hampir bersamaan masanya, yaitu sekitar abad IV sebelum Masehi. Sejarah perkembangan bahasa di dunia Barat tersebut diawali dari Yunani Kuno, sedangkan perkembangan ilmu bahasa di dunia Timur di awali dari India.

1. Perkembangan Ilmu Bahasa di Dunia Barat
Sejarah perkembangan ilmu bahasa di dunia Barat dimulai sejak dua puluh empat abad yang lalu, yaitu abad IV sebelum Masehi. Plato (429-348 SM) menelorkan pembagian jenis kata berjasa Yunani Kuno dalam kerangka telaah filsafatnya. Ia sebenarnya tidak berfikir bahwa ia akan menjadi orang pertama yang memikirkan bahasa dan ilmu bahasa. Dalam kerangka telaah filsafatnya itu Plato membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi dua golongan yakni anoma dan rema. Secara awam anoma bisa disejajarkan dengan kata benda, sedangkan rhema bisa disejajarkan dengan kata kerja atau kata sifat. Pembagian ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles, murid Plato, dengan menambahkan jenis ketiga yaitu syndesmos, yaitu jenis kata yang tidak pernah mengalami perubahan bentuk. Sampai masa ini perkembangan bahasa terbatas pada telaah kata saja, khususnya tentang jenis kata.
Tata bahasa atau gramatika mulai diperhatikan pada akhir abad kedua Sebelum Masehi (130 SM) oleh Dyonisius Thrax. Buku tata bahasa yang pertama disusun itu berjudul “Techne Gramatike”. Buku inilah yang kemudian menjadi panutan para ahli tata bahasa yang lain. Para ahli tata bahasa yang mengikuti Thrax ini kemudian dikenal sebagai penganut aliran tradisionalisme. Pada zaman ini pembagian jenis kata meliputi: (1) nomina, (2) protonima, (3) artikel, (4) verba, (5) adverbia, (6) preposisi, (7) partisiplum, dan (8) konjugasi.
Ketika bangsa Romawi menaklukkan bangsa Yunani pun dikenakan pada bahasa Latin. Gramatisasi yang dikenal pada masa itu ialah Donatius (abad IV) dan Priscianus (abad V). Pembagian jenis kata pada saat itu menjadi tujuh, yaitu: nomina, protomina, verba, adverbia, preposisi, partisiplum, dan konjugasi/ konjugasio. Sedangkan pada abad pertengahan pembagian jenis kata dilakukan oleh Modistae. Ia membagi jenis kata menjadi delapan, yaitu: nomina, protomina, verba, adverbia, preposisi, partisiplum, konjugasio dan interjeksi. Pada masa Renaisance pembagian jenis kata kembali menjadi tujuh dengan menghilangkan jenis verba.
Sejak masa Yunani Kuno sampai akhir abad XIX ilmu bahasa lebih banyak menggeluti kata, khususnya problematika pembagian jenis kata. Ilmu bahasa komparatif yang juga berkembang pesat pada abad XIX hanya berhasil membandingkan kata-kata.
Awal abad XX muncul karangan Ferdinand de Saussure yang berjudul “Course de Linguistique Generale” (1916) yang merupakan angin segar bagi perkembangan ilmu bahasa moderen. Konsepnya tentang signifiant dan signifie merupakan kunci utama untuk memahami hakikat bahasa. Konsep lain yang ditampilkan antara lain Parole, Langue, dan Langage, representatif grafis serta deretan sintakmatik dan paradigmatik. Pandangan Saussure ini kemudain berkembang menjadi aliran strukturalisme tidak lagi menggunakan kriteria filosofis. Kriteria yang dipakai adalah kriteria struktur yang meliputi struktur morfologis, fraseologis, dan klausal.

2. Perkembangan Ilmu Bahasa di Dunia Timur
Sejarah perkembangan ilmu bahasa di dunia Timur dimulai dari India pada lebih kurang abad empat sebelum masehi, jadi hampir bersamaan dengan dimulainya sejarah ilmu bahasa di Barat. Perkembangan bahasa di dunia Timur ini ditandai dengan munculnya karya Panini yang berjudul “Vyakarya”. Buku tersebut merupakan buku tata bahasa Sansekerta yang sangat mengagumkan dunia, karena pada zaman yang sedini itu telah bisa mendeskripsikan bahasa Sansekerta secara lengkap dan seksama, teristimewa dalam bidang fonologinya. Huruf Devanagarai yang dipakai untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa Sansekerta demikian lengkap. Setiap bunyi diupayakan dilambangkan secara khas.
Di dunia tidak ada bahasa yang secermat ini sistem bunyi dan sistem tulisannya. Banyak ahli bahasa Barat yang kagum ddan tereperanjat setelah mengetahui bahwa tata bahasa Sansekerta pada zaman sedini ini sudah memiliki deskripsi yang tak ubahnya dengan deskripsi ahli bahasa struktural di Barat paada awal abad dua puluh. Bahkan banyak yang menilai bahwa deskripsi linguistik Panini ini merupakan deskripsi struktural paling murni. Sayangnya puncak strukturalisme terputus sama sekali dan tidak ada kelanjutannya barang sedikitpun.


METODE PENGAJARAN BAHASA ARAB

Ibnu khaldun berkata, “Sesungguhnya pengajaran itu merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan kecermatan karena ia sama halnya dengan pelatihan kecakapan yang memerlukan kiat, strategi dan ketelatenan, sehingga menjadi cakap dan professional.” Implementasi metode pengajaran tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien sebagai media pengantar materi pengajaran bila implementasinya tanpa didasari dengan pengetahuan yang memadai tentang metode itu. Sehingga metode bisa saja akan menjadi penghambat jalannya proses pengajaran, bukan komponen yang menunjang pencapaian tujuan, jika tidak tepat aplikasinya.
Oleh karena itu, penting sekali untuk memahami dengan baik dan benar tentang karakteristik suatu metode. Secara sederhana, metode pengajaran bahasa Arab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: pertama, metode tradisional/ klasikal dan kedua, metode modern. Metode pengajaran bahasa Arab tradisional adalah metode pengajaran bahasa Arab yang terfokus pada “bahasa sebagai budaya ilmu” sehingga belajar bahasa Arab berarti belajar secara mendalam tentang seluk-beluk ilmu bahasa Arab, baik aspek gramatika/ sintaksis, morfem/ morfologi ataupun sastra. Metode yang berkembang dan masyhur digunakan untuk tujuan tersebut adalah Metode qowaid dan tarjamah.
            Metode tersebut mampu bertahan beberapa abad, bahkan sampai sekarang pesantren-pesantren di Indonesia, khususnya pesantren salafiah masih mengaplikasikan metode tersebut. Hal ini didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
1. Pertama, tujuan pengajaran bahasa arab tampaknya pada aspek budaya/ ilmu, terutama nahwu dan ilmu sharaf.
2. Kedua intensitas ilmu nahwu dianggap sebagai syarat mutlak sebagai alat untuk memahami teks/ kata bahasa Arab klasik yang tidak memakai harakat, dan tanda baca lainnya.
3. Ketiga, bidang tersebut merupakan tradisi turun temurun, sehingga intensitas di bidang itu memberikan “rasa percaya diri tersendiri di kalangan mereka”.
Metode pengajaran bahasa Arab modern adalah metode pengajaran yang berorientasi pada tujuan bahasa sebagai alat. Artinya, bahasa Arab dipandang sebagai alat komunikasi dalam kehidupan modern, sehingga inti belajar bahasa Arab adalah intensitas untuk menggunakan bahasa tersebut secara aktif dan mampu memahami ucapan/ungkapan dalam bahasa Arab. Metode yang lazim digunakan dalam pengajarannya adalah metode langsung (tariiqah al-mubasysyarah). Munculnya metode ini didasari pada asumsi bahwa bahasa adalah sesuatu yang hidup, oleh karena itu harus dikomunikasikan dan dilatih terus sebagaimana anak kecil belajar bahasa.

A. Metode Qowa’id dan tarjamah (Tariiqatul al Qowaid Wa Tarjamah)
Implementasi metode ini lebih cocok jika tujuan pengajaran bahasa Arab adalah sebagai kebudayaan, yaitu untuk mengetahui nilai sastra yang tinggi dan untuk memiliki intensitas kognitif yang terlatih dalam menghafal teks-teks serta memahami apa yang terkandung di dalam tulisan-tulisan atau buku-buku teks, terutama buku Arab klasik.
1. Ciri-ciri metode Qowa’id dan tarjamah adalah :
a. Peserta didik diajarkan membaca secara detail dan mendalam tentang teks-teks atau naskah pemikiran yang ditulis oleh para tokoh dan pakar dalam berbagai bidang ilmu pada masa lalu baik berupa sya’ir, naskah, kata mutiara, maupun kiasan-kiasan.
b. Penghayatan yang mendalam dan rinci terhadap bacaan sehingga peserta didik memiliki perasaan koneksitas terhadap nilai sastra yang terkandung di dalam bacaan.
c. Menitikberatkan perhatian pada kaidah gramatika (Qowa’id Nahwu/ Sharaf) untuk menghafal dan memahami isi bacaan.
d. Memberikan perhatian besar terhadap kata-kata kunci dalam menerjemah, seperti bentuk kata kiasan, sinonim, dan meminta peserta didik menganalisis dengan kaidah gramatikal yang sudah diajarkannya (mampu menerjemah bahasa ibu ke dalam Bahasa Arab).
e. Peserta tidak diajarkan menulis karangan dengan gaya bahasa yang serupa / mirip, dengan gaya bahasa yang dipakai para pakar seperti pada bacaan yang telah dipelajarinya, terutama mengenai penggunaan model gaya bahasa, al – itnab at Tasbi’ al Istiarah yang merupakan gaya bahasa masa klasik.
2. Aplikasi Metode Qowa’id dan tarjamah dalam proses pembelajaran :
a. Pendidik mulai mendengarkan sederetan kalimat yang panjang yang telah dibebankan kepada peserta didik untuk menghafalkan pada kesempatan sebelumnya dan telah dijelaskan juga tentang makna dari kalimat-kalimat itu.
b. Pendidik memberikan kosa kata baru dan menjelaskan maknanya ke dalam bahasa local/bahasa ibu sebagai persiapan materi pengajaran baru.
c. Selanjutnya pendidik meminta salah satu peserta didik untuk membaca buku bacaan dengan suara yang kuat terutama menyangkut hal-hal yang biasanya peserta didik mengalami kesalahan dan kesulitan dan tugas pendidik kemudian adalah membenarkan.
d. Kegiatan membaca teks ini diteruskan hingga sekuruh peserta didik mendapat giliran. Setelah itu siswa yang dianggap paling bisa untuk menterjemahkan, kemudian selanjutnya diarahkan pada pemahaman struktur gramatikanya.

B. Metode langsung (al Thariiqatu al Mubaasyarah)
            Penekanan pada metode ini adalah pada latihan percakapan terus-menerus antara pendidik dan peserta didik dengan menggunakan bahasa Arab tanpa sedikitpun menggunakan bahasa ibu, baik dalam menjelaskan makna kosa kata maupun menerjemah, (dalam hal ini dibutuhkan sebuah media). Perlu menjadi bahan revisi disini adalah bahwa dalam metode langsung, bahasa Arab menjadi bahasa pengantar dalam pengajaran dengan menekankan pada aspek penuturan yang benar ( al-Nutqu al-Shahiih), oleh karena itu dalam aplikasinya, metode ini memerlukan hal-hal berikut:
a. Materi pengajaran pada tahap awal berupa latihan oral (syafawiyah)
b. Materi dilanjutkan dengan latihan menuturkan kata-kata sederhana, baik kata benda ( isim) atau kata kerja ( fi’il) yang sering didengar oleh peserta didik.
c. Materi dilanjutkan dengan latihan penuturan kalimat sederhana dengan menggunakan kalimat yang merupakan aktifitas peserta didik sehari-hari.
d. Peserta didik diberikan kesempatan untuk berlatih dengan cara Tanya jawab dengan pendidik/sesamanya.
e. Materi Qiro’ah harus disertai diskusi dengan bahasa Arab, baik dalam menjelaskan makna yang terkandung di dalam bahan bacaan ataupun jabatan setiap kata dalam kalimat.
f. Materi gramatika diajarkan di sela-sela pengajaran,namun tidak secara mendetail.
g. Materi menulis diajarkan dengan latihan menulis kalimat sederhana yang telah dikenal/ diajarkan pada peserta didik.
h. Selama proses pengajaran hendaknya dibantu dengan alat peraga/ media yang memadai.
Seorang pendidik sebaiknya memahami prinsip-prinsip dasar pengajaran bahasa Arab diatas sebagai bahasa asing dengan menggunakan metode yang memudahkan peserta didik dan tidak banyak memaksakan peserta didik ke arah kemandegan berbahasa. Adapun bagi bagi seorang siswa, bahwasanya belajar bahasa apapun, semuanya membutuhkan proses, banyak latihan dan kemudian banyak mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari.

ISLAM DALAM PERSPEKTIF SAINS

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

pola pikir (mindset) Barat dewasa ini berada di tengah-tengah konfrontasi antara agama dan sains. Hampir tidak mungkin mufakkir Barat sekarang ini menerima realitas bahwa kemungkinan ada pertemuan secara mendasar antara agama dan sains. Injil, yang menjadi kepercayaan orang Nasrani, menyatakan pohon di mana Nabi Adam AS dilarang memakannya adalah pengetahuan. Oleh karena itu, sesudah dia memakan buahnya, dia memperoleh pengetahuan tertentu yang mana tidak dia peroleh sebelumnya. Dengan alasan inilah orang Eropa membantah bahwa selama dua abad mereka tidak menerima pengetahuan ilmiah yang datang dari orang Islam.
Gereja menyatakan bahwa pencarian seperti pengetahuan ilmiah adalah penyebab dosa yang asli. Uskup menggambarkan bukti mereka dari Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa tatkala Adam memakan pohon itu, ia mendapat beberapa pengetahuan, Allah tidak menyukainya dan menolak memberinya kemurahan hati. Oleh karena itu, pengetahuan ilmiah menolak sepenuhnya peraturan gereja yang dianggap sebagai hal yang tabu. Akhirnya, tatkala mufakkir bebas dan ilmuwan Barat sanggup mengatasi kekuatan gereja, mereka membalas dendam dengan mencari petunjuk yang berlawanan dan menekan beberapa kekuatan agama. Mereka beralih kepada hal-hal yang berlawanaan untuk mengatasi kekuatan gereja dan mengurangi pengaruhnya kepada hal yang sempit dan membatasi pada sudut-sudut tertentu.
Oleh karena itu, jika Anda membicarakan persoalan agama dan sains dengan mufakkir Barat, dia benar-benar akan keheranan. Mereka tidak tahu Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa Islam menjunjung tinggi sains dan orang yang berilmu, menghormati mereka sebagai saksi sesudah malaikat yang berhubungan dengan fakta baru tiada Tuhan selain Allah, sebagaimana yang sudah Allah firmankan kepada kita: 

“Tuhan menyatakan, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia, dan malaikat-malaikat dan orang-orang berilmu yang tegak dengan keadilan. ” (QS AIi Imran : 18)

Sudah diketahui dari al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut al-Quran, kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan sains dengan para mufakkir Barat, mereka cenderung mengharapkan argumen yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan tatkala mereka ditunjukkan dengan fakta yang jelas sekali dari al-Quran dan Sunnah.
Di antara mufakkir Barat yang menampakkan keterkejutannya itu adalah Prof. Dr. Joe Leigh Simpson, Ketua jurusan Ilmu Kebidanan dan Ginekologi dan Pakar Molecular dan Genetika Manusia, Baylor College Medicine, Houston. tatkala kami pertama kali bertemu dengannya, Profesor Simpson menuntut kebenaran al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, kami sanggup menghilangkan kecurigaannya. Kami menunjukkan kepadanya sebuah naskah garis besar perkembangan embrio. Kami membuktikan kepadanya bahwa al-Quran menjelaskan kepada kita bahwa turunan atau hereditas dan sifat keturunan atau kromosom yang tersusun hanya bisa terjadi sesudah perpaduan yang berhasil antara sperma dan ovum. Sebagaimana yang kita ketahui, kromosom-kromosom ini berisi semua sifat-sifat baru manusia yang akan menjadi mata, kulit, rambut, dan lain-lain.
Oleh karena itu, beberapa sifat manusia yang tersusun itu ditentukan oleh kromosomnya. Kromosom-kromosom ini mulai terbentuk sebagai permulaan pada tingkatan nutfah dari perkembangan embrio. Dengan kata lain, ciri khas manusia baru terbentuk sejak dari tingkatan nutfah yang paling awal. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:
 
“Celakalah kiranya manusia itu! Alangkah ingkarnya (kepada Tuhan). Dari apakah dia diciptakan? Dari setetes air mani. (Tuhan) menciptakannya dan menentukan ukuran yang sepadan dengannya. ” (QS Abasa : 17-19)

Selama empat puluh hari pertama kehamilan, semua bagian dan organ tubuh sudah sempurna atau lengkap, terbentuk secara sistematis. Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada kita di dalam hadisnya: “Setiap dari kamu, semua komponen penciptamu terkumpul dalam rahim ibumu selama empat puluh hari.” Di dalam hadis lain, Nabi Muhammad SAW bersabda: “tatkala setetes nuftah sudah melewati 42 malam, Allah memerintahkan seorang malaikat ke rahim perempuan, yang berkata: `Ya Tuhan! Ini lakilaki atau perernpuan?’ Dan Tuhanmu memutus kan apa yang Dia kebendaki. “
Prof. Simpson mempelajari dua hadis ini secara intensif, yang mencatat bahwa empat puluh hari pertama itu terdapat tingkatan yang dapat dibedakan secara jelas atau embriogenesis. Secara khusus, Dia dibuat kagum dengan ketelitian yang mutlak dan keakuratan kedua hadis tersebut. Kemudian dalam salah satu konferensi yang dihadirinya, dia memberikan pendapat sebagai berikut: “Dari kedua hadis yang sudah tercatat dapat membuktikan kepada kita gambaran waktu secara spesifik perkembangan embrio sebelum sampai 40 hari. Terlebih lagi, Pendapat yang sudah berulang-ulang dikemukakan pembicara yang lain pagi ini. bahwa kedua hadis ini sudah menghasilkan dasar pengetahuan ilmiah yang mana rekaman mereka sekarang ini didapatkan”.
Prof. Simpson mengatakan bahwa agama dapat menjadi petunjuk yang baik untuk pencarian sains. Ilmuwan Barat sudah menolak hal ini. Seorang ilmuwan Amerika mengatakan bahwa agama Islam dapat mencapai sukses dalam hal ini. Dengan analogi, jika Anda pergi ke suatu pabrik dan Anda berpedoman pada mengoperasikan pabrik itu, kemudian Anda akan paham dengan mudah bermacam-macam pengoperasian yang berlangsung di pabrik itu. Jika Anda tidak mempunyai pedoman ini, pasti tidak mempunyai kesempatan untuk memahami secara baik variasi proses tersebut. Profesor Simpson berkata: “Saya pikir tidak ada kontroversi antara ilmu genetika dan agama, tetapi pada kenyataannya agama dapat menjadi petunjuk sains dengan tambahan wahyu ke beberapa pendekatan ilmiah yang tradisional. Ada kenyataan di dalam al-Quran yang ditunjukkan oleh sains menjadi valid, yang mana al-Quran mendukung sains yang berasal dari Allah.”
Inilah kebenaran. Orang-orang Islam tentunya dapat memimpin dalam cara pencarian sains dan mereka dapat menyampaikan pengetahuan itu daIam status yang sesuai. Terlebih lagi orang Islam mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan itu sebagai bukti keberadaan Allah, Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia untuk menegaskan kerasulan Nabi Muhammad SAW, Allah berfirman di dalam al-Quran: 

“Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu. ” (QS Fushshilat : 53)