Kamis, 29 Maret 2012

ALIRAN-ALIRAN DALAM TEOLOGI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”.  Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.
Munculnya perbedaan antara umat Islam masalah teologi  yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi..
Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran teologi.



BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Timbulnya Aliran- Aliran Teologi Islam
           Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, karena begitu sentralnya tokoh seorang pribadi Muhammad SAW disamping sebagai Nabi, Rasul Beliau juga seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan, ahli Negara, sehingga ketika Beliau wafat masyarakat madinah sibuk memikirkan pengganti Beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau dan mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka waktu itu. Selanjutnya muncul persoalan ‘Khilafah’ soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara.Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat Islam diwaktu itu untuk menjadi Khalifah pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan ol.eh Umar Ibn al-Khattab dan Umar tergantikan oleh Usman Ibn Affan.
Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya, kaum keluarganya dari golongan masyarakat aristocrat/ bangsawan Mekkah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang dagang, admistrasi. Pengetahuan mereka ini sangat bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah- daerah diluar Semenanjung Arabia yang masuk dibawah kekuasaan Islam.
Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup mementang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Tindakan –tindakan politik yang dilakukan Usman kerap kali mengangkat mereka (kerabat keluarganya) menjadi Gubernur-gubernur di daerah yang tunduk kepada kekeuasaan Islam. Selanjutnya perasaan tidak senang muncul di daerah akibat dari tindakan politik yang dilakukan Usman ini. Di Mesir sebagai reaksi dijatuhkannya Umar Ibn al-Khattab yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn abi Sarh salah satu anggota kerabat keluarga Usman sebagai Gubernur mesir. 500 pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah.
Perkembangan di Madinah selanjutnya membawa persoalan pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari mesir ini. Setelah Usman wafat Ali Ibn Abu Thalib sebagai calon terkuat menjadi khalifah ke-empat. Tetapi segera setelah memimpin ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan, dorongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah, talhah, Zubeir ini dipatahkan ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 H. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dalam pertempuran ini dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Muawwiyah. Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan Usman sebagaimana halnya Talhah dan Zubeir mereka tidak mau mengakui Ali Ibn Thallib sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut andil dalam pembunuhan itu.
Dalam pertempuran Perang Siffin tentara Ali dapat mendesak tentara Muawwiyah. Namun tangan kanan Muawwiyah Amr Ibn ash yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-quran ke atas. Kelompok yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan Arbitrase (Tahkim). Sebagai perantara/ utusan diangkatlah orang-orang kepercayaan yakni: Amr bin Ash dari pihak Muawwiyah dan Abu Musa al Asy’arydari pihak Ali.

2. Aliran-Aliran Dalam Teologi Islam
A. Aliran Khawarij
Istilah Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Alasan mereka keluar, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbirtrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Khawarij merupakan aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Asy-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin, maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Dermikian pula, kaum khawarij dikenal sebagai sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh rakyat (ummat). Oleh karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, dalam tulisan ini nama Khawarij khusus diberikan kepada sekelompok orang yang telah memisahkan diri dari barisan Ali.
Pengikut Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersipat sederhana, baik dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras.
Pada masa-masa perkembangan awal Islam, persoalan-persoalan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan persoalan-persoalan teologis. Sekalipun pada masa-masa Rasulullah masih hidup, setiap persoalan tersebut bisa diselesaikan tanpa memunculkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan para sahabat. Setelah Rasulullah wafat, dan memulainya penyebaran Islam ke seluruh pelosok jazirah Arab dan luar Arab persoalan-persoalan baru pun bermunculan di berbagai tempat dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Sehingga, munculnya perbedaan pandangan di kalangan ummat Islam tidak bisa dihindari.

1. Latar Belakang Kemunculan
Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih menjadi gerakan teologis. Perubahan ini terutama setelah mereka merujuk beberapa ayat Alquran untuk menunjukkan, bahwa gerakan mereka adalah gerakan agama. dan secara terorganisir terbentuk bersamaan dengan terpilihnya pemimpin pertama, Abdullah bin Wahab Al-Rasyibi, yang ditetapkan pada tahun 37 H. (658 M). Karena pertimbangan-pertimbangan politis, Fazlur Rahman memandang bahwa Khawarij “tidak memiliki implikasi doktrinal yang menye-leweng, tetapi hanya seorang atau sekelompok pemberontak atau aktifis revolusi”.
Persoalan pergantian kepemimpinan ummat Islam (khalifah) setelah Rasulullah wafat, menjadi titik yang jelas dari semakin berlarut-larutnya perbedaan pendapat dan perselisihan di kalangan ummat Islam, bahkan menjadi isu akidah yang serius, sehingga menyebabkan munculnya berbagai aliran teologi . Terpilihnya Ali sebagai khalifah, menggantikan Usman, pertentangan dan peperangan diantara ummat Islam tidak reda. Pada akhirnya, ada upaya perdamaian diantara yang bertikai tersebut. Dua tokoh tampil, masing-masing mengatasnamakan sebagai juru pendamai dan wakil dari pihak Ali dan Muawiyah, yakni Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin Ash.
Dalam sejarah Islam, usaha perdamaian itu dikenal dengan “Majlis Tahkim”, dalam persengketaan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah pada perang Shiffin, suatu tempat di tepi Sungai Efrat, yang menyebabkan tampilnya Muawiyah sebagai khalifah. Hasil perdamaian tersebut, memunculkan kesepakatan bahwa Ali dipecat dari kursi kekhalifahan, dan Muawiyah ditunjuk sebagai penggantinya.
Setelah Muawiyah diangkat menjadi khalifah inilah, maka muncul golongan-golongan politik dilingkungan ummat islam, yakni Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Bermula dari persoalan politik, akhirnya berubah menjadi persoalan teologis, masing-masing saling menuduh dan mengeluarkan hukum dengan tuduhan-tuduhan kafir, dosa besar, dan lain-lain, sampai memunculkan persoalan sumber perbuatan manusia, apakah dari Tuhan atau dari diri manusia sendiri.

2. Faham-fahamnya
Pada masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga pokok pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir.
Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.

B. Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.
Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.

1. Faham-fahamnya
Faham aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya. Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Berdasarkan itu, maka inti faham Murji’ah adalah sebagai berikut :
Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.
Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.

2. Kelompok-kelompok Murji’ah
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.
Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.

C. Aliran Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Golongan pertama, muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut pendapat, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari. Golongan kedua, muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.

1. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam".
Aliran mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu'tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah, pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak

D. Aliran Jabariah dan Qodariah
Jabariah adalah aliran di ilmu kalam yang berpandangan bahwa segala yang wujud di alam semesta, termasuk manusia, terikat pada kodrat dan irodat Allah SWT semata. Jabariah adalah pemahaman yang mengatakan bahwa amal shalih bukanlah sebab masuknya kita ke sorga dalam segala hal, dan sebaliknya adalah Qadariyah, yang meyakini bahwa sorga adalah bayaran dari amal kita secara mutlak. dan kedua faham ini batil, bahwa kita beramal dan Allah swt menentukan diterimanya amal itu atau tidak. tentunya kita tak berpangku tangan, tidak pula mengandalkan amal untuk memastikan masuk sorga dan bebas dari neraka.
Aliran Qadariah muncul sekitar tahun 70 H ( 689 M ). Ajaran-ajaran ini banyak persamaannya dengan Mu’tazilah. Kehadiran Qadariah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariah tetap berkembang. Dalam perkembangannya, paham ini tertampung dalam madzhab mu’tazilah.
Kata jabariah berasal dari kata “jabara” yang berarti “memaksa”. Secara istilah Jabariah adalah suatu golongan yang mengatakan segala perbuatan manusia sesungguhnya datang dari Allah dengan kata lain segala perbuatan manusia terpaksa dilakukan.
Faham ini berasal dari memahami beberapa ayat-ayat Al-Qur’an, diantara Ayat yang menjadi alasan faham ini adalah :
“Allah menciptaan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-Shaffat: 96)
Qodariah berasal dari bahasa Arab yaitu qadara artinya kemampuan dan kekuatan, sedangkan arti terminologinya adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan atau perbuatan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.
Golongan ini menyatakan bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan, seperti ayat Qur’an menyatakan :
 “ Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau (beriman) beriman lah ia, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir (Q.S. Al-Kahfi : 29)
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, kecuali mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra’ad : 11)

1. Tokoh-tokoh Jabariah dan Qodariah
Faham Jabariah pertama kali dipopulerkan oleh Ja’d bin Dirham di Basrah. Ide jabariah ini kemudian terpelihara dalam gerakan pemikiran muridnya yaitu Jahm bin Shafwan, yang kepadanya dinisbatkan aliran Jahmiyah. Di samping menerima ide jabariah, Jahm juga mengembangkan pemikiran-pemikiran lain seperti mengemukakan pendapat bahwa surga dan neraka bersifat fana, iman adalah ma’rifah dan kekufuran adalah jahl, kalam Allah bersifat tidak qadim, Allah bukan sesuatu dan tidak bisa dilihat pada hari kiamat.
Sedangkan faham Qadariah dengan tokoh utamanya Ma’bad bin Khalid al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi menyatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak Allah. Jadi, perbuatan manusia berada di luar ruang lingkup kekuasaan atau campur tangan Allah.

2. Ajaran-ajaran Jabariah dan Qodariah
1. Ajaran-ajaran Jabariah terbagi menjadi dua golongan yaitu:
a. Golongan Ekstrim
Mengatakan bahwa segala sesuatu perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan pada dirinya.
Pendapat Jham bin Shofyan orang dari khurasan dan tinggal di Khuffah mengatakan tentang teologi Jabariah Ekstrim adalah:
  1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, tidak mempunyai pilihan.
  2. Surga dan neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Tuhan
  3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
  4. Al-qur’an adalah makhluk.
b. Golongan Moderat
Mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan baik dan buruk, tetapi manusia mempunyai bagian didalamnya.
Pendapat An-Najjar (wafat : 230 H) diantara pendapatnya dari Jabariah Moderat dari golongan Jabariah Moderat adalah :
1. Tuhan menciptakan segala sesuatu perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat nanti, tetapi Tuhan bisa saja memindahkan hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
Namun secara garis besarnya Ajaran faham mereka adalah;
a.  Iman dan taat, serta kufur dan maksiat semata-mata dari Allah. Tiada manusia berbuat, bercita-cita dan berdoa.
b.  Gugur taklif syarak daripada hamba.
c.  Berbuat baik tidak dapat kebajikan atau pahala, berbuat maksiat tidak dapat  balasan dan putus asa daripada rahmat Allah.
d.  Berbuat baik tidak dapat pahala, berbuat jahat tidak dapat siksa.
e.  Tafakur itu lebih baik daripada segala ibadah fardhu atau sunah.
f.  Siapa yang menjadi kekasih Allah dan bersih daripada hawa nafsu yang jahat dan berilmu tidak perlu lagi berbuat amal ibadah.
g.  Bahwa orang-orang kafir dan ahli-ahli maksiat tidak akan ditanya di akhirat kelak karena segala-galanya itu Allah yang melakukannya.
h.  Bahwa Allah tidak menyiksa semua hamba-hambanya, kalau Allah menyiksa
juga maka Allah itu zalim.
i. Allah meghidupkan semua yang kafir dan segala orang yang bersalah di dalam neraka, setelah itu dimatikan pula dan tidak hidup lagi selama-lamanya.
j. Apabila Allah selesai menciptakan makhluk maka beristirahatlah Ia. Setiap suatu yang zahir pada waktunya yang ditetapkan itu, dengan sendirinya putus hubungan dengan Allah.
k. Apabila sampai kepada derajat kekasih Allah (wali Allah) yang tinggi gugurlah taklif syara’ hanya tafakkur semata-mata.
l. Harta dunia bersyarikat di antara semua keturunan Adam dan Hawa, halal mengambilnya tidak hak tagihan ahlinya.
m. Apabila terasa dalam hati hendak melaksanakan sesuatu kebajikan atau kejahatan hendaklah segera mengerjakannya karena itu wahyu Allah yang dimasukkan di dalam hati.
n. Barangsiapa belajar ilmu jadilah ia berada dalam syirik dan meneguhkan daripadanya jadilah ia kafir.
o. Bahwa semua yang difardhukan oleh Allah boleh dikerjakan jika rajin dan boleh ditinggalkan jika malas.
p. Segala perintah Allah itu hanya sekali saja tidak berulang-ulang.
q. Hamba tiada mukallaf selain daripada iman dan kufur.
r. Disebut mukmin hanya mengucap dua kalimah syahadat, menghilangkan dua kalimah syahadat jadi kafir. Tidak perlu lagi melaksanakan lebih daripada itu.

2. Ajaran-ajaran Qodariah
Golongan ini menyatakan bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan, dan secara garis besar Ajaran faham mereka adalah;
a. Segala usaha ikhtiar, semata-mata dari Manusia. Tiada campur tangan Allah dalam perbuatan itu.
b.     Syaitan itu serupa dengan Allah kerana tidak mempunyai wujud yang nyata.
c.     Berbuat kejahatan itu seperti syaitan dan berbuat kebaikan itu seperti Allah.
d.     Qada’ dan Qadar itu bukan daripada Allah.
e.     Beramal ibadah itu sia-sia karena tiap-tiap baik dan jahat itu azali.
f.      Tidak ada syurga, neraka, hisab, mizan dan belum dijadikan Allah.
g.     Bahwa segala amal ibadah daripada hamba semata-mata tidak diketahui memperoleh pahala atau siksa jika melaksanakan atau meninggalkannya.
h.     Bahwa Allah tiada menjadikan syaitan karena jika Allah menjadikan syaitan maka Allah juga menjadikan kekufuran maka sesungguhnya Allah itu berkehendak wujud kekufuran.
i.       Bahwa segala amal ibadah Allah semata-mata iman dan kufur.
j.      Benci kepada shalat fardhu dan suka kepada shalat sunah. Maka shalat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat saja.
k.     Segala kitab-kitab Allah yang turun dari langit tidak mansuh, wajib beramal dengan semua isi kandungannya.

 E. Aliran Syi’ah
Syi`ah adalah kelompok aliran aqidah yang secara umum menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Di dalam tubuh syi`ah sendiri ada banyak sekte dan pecahan. Diantaranya yang paling terkenal adalah Syi`ah Imamiyah atau Syi`ah imam 12.
Penyimpangan Aqidah Meski latar belakang awal mula berdirinya lebih merupakan masalah politis, namun pada perkembangan berikutnya, kelompok Syiah berkembang menjadi sebuah paham aqidah tersendiri yang menyimpang. Penyimpangan itu bila disimpulkan antara lain :
1. Sekte dalam Syiah berkeyakinan bahwa Jibril salah menurunkan wahyu kepada Muhammad, seharusnya kepada Ali bin Abi Thalib.
2. Mereka memiliki mushaf Al-Quran versi mereka sendiri yang isinya tidak sama dengan mushaf yang dikenal sekarang ini. Kulaini menjelaskan dalam bukunya bahwa Ja`far Shodiq berkata, Kami mempunyai mushaf  Fathimah. Sebuah mushaf yang isinya seperti Al-Quran kalian 3 kali. Demi Allah, tidak ada satu huruf pun isinya dari Al-Quran kalian.
3. Mereka meyakini bahwa imam mereka ada 12 dan semuanya memiliki mukjizat seperti Nabi dan telah diberi wasiat dan rahasia ajaran Islam. Sehingga mereka berhak menerangkan ajaran Islam yang orang lain tidak diberitahu menjadi rahasia mereka sendiri. Mereka yakin bahwa para imam  itu dititipi ilmu oleh Rasulullah SAW untuk menyempurnakan syariat. Tidak  ada perbedaan antara imam dengan Rasulullah SAW kecuali bahwa Rasulullah SAW menerima wahyu.
4. Para imam itu diyakini berada pada derajat ma`shum yang tidak mungkin berdosa dan terpelihara dari segala kesalahan, kelalaian serta dosa-dosa baik besar atau kecil.
5. Mereka meyakini bahwa imam mereka yang ke-12 sedang ghaibah (menghilang) ke dalam sebuah gua di Samara (surro man ra`a), sebuah kota kecil di Iraq dekat sungai Tigris utara Baghdad. Suatu hari nanti imam ke-12 itu akan muncul lagi (roj`ah). Karena itu sekarang setiap ba`da maghrib mereka rajin berdiri di pintu gua bahkan menyediakan sebuha kendaraan untuk pergi. Perbuatan ini terus berlangsung tiap malam.
6. Harapan mereka imam itu akan datang untuk memenuhi keadilan sebagaiman bumi sedang dipenuhi dengan kekejaman dan kezoliman. Imam ke-12 ini juga akan melacak lawan-lawan syiah sepanjang sejarah.
7. Kebencian mereka kepada para sahabat Nabi dan mengatakan mereka berdosa telah merampas khilafah dari Ali bin Abi Thalib. Sebagian syiah malah mengkafirkan para shahabat Nabi radhiyallahu anhum. Sebaliknya mereka mengagungkan ahlul bait atau keluarga nabi. Ahlul bait ini adalah para shahabat nabi yang utama, tetapi oleh kelompok syiah ini, ahlul bait diseret-seret masuk dalam perangkap aqidah mereka, sehingga seolah-olah antara ahlul bait dengan shahabat yang lain ada pemisah dan permusuhan.
Padahal di zaman para shahabat, syiah yang sesat seperti ini belum lagmuncul. Bahkan Hasan dan Husein serta Ali Zaenal Abidin yang sering mereka klaim sebagai imam mereka pun tidak tahu menahu dengan ulah syiah sesat ini. Syiah yang sesat ini baru muncul jauh di kemudian hari setelah generasi para shahabat dan sebagian tabi`in telah meninggal. Aktor intelektual di belakang syiah sesat ini tidak lain adalah Abdullah bin
Saba` yang dalam sejarah otentik terbukti menjadi provokator di wilayah- wilayah Islam.
Dia telah menyebarkan fitnah, berita bohong, kebencian kepada para shahabat serta paham yang merusak. Dia tidak lain adalah yahudi Yaman yang berpura-pura masuk Islam. Identitas keyahudiannya sangat menonjol ketika dia mengajarkan tentang imam yang akan muncul (raj`ah), tidak mati, menjadi raja di bumi, mengathui apa yang tidak diketahui orang dan lain-lain. Ini tidak lain berakar pada paham yahudi, agama yang dipeluknya masih diakuinya bahwa selama ini dia masih beragama yahudi. Ali bin Abi Thalib sendiri sebagai tokoh yang dijadikan umpan oleh Abdullah bin Saba` untuk memunculkan konflik di antara para shahabat, bukan tidak tahu ulahnya. Bahkan Ali bin Abi Thalib sendiri yang berkehendak untuk membunuhnya. Namun atas nasehat dari Abdullah bin Abbas, musuh islam itu tidak jadi dibunuh namun di buang ke Madain. Sosok Abdulah bin Saba` oleh para pengikut fanatik syiah sering dikabur-kaburkan dan dengan segala argumentasi mereka mengatakan bahwa Abdullah bin Saba` adalah tokoh fiktif serta sekedar tokokh rekaan musuh- musuh syiah. Padahal sejarah dunia telah mengenal sosok ini dengan beragam ulahnya meski mereka memungkiri dengan berbagai dalih.

F. Aliran Murji'ah Aliran
Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:
  1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima kalangan Murjites sendiri, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam merupakan satu kesatuan.
  2. Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum kafir. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak menjatuhkannya di akhirat.
Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (dipelopori Hasan bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Tholib) dan kelompok ekstrem (dipelopori Jaham bin Shofwan).



BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa Aliran- aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW, karena begitu sentralnya tokoh seorang pribadi Muhammad SAW disamping sebagai Nabi, Rasul Beliau juga seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan, sehingga ketika Beliau wafat masyarakat madinah sibuk memikirkan pengganti Beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau dan mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka waktu itu.
Perkembangan di Madinah selanjutnya membawa persoalan pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari mesir ini. Setelah Usman wafat Ali Ibn Abu Thalib sebagai calon terkuat menjadi khalifah ke-empat. Tetapi segera setelah memimpin ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan, dorongan dari Aisyah ra. Tantangan dari Aisyah, talhah, Zubeir ini dipatahkan ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 H. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dalam pertempuran ini dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali dan Muawiyah adalah awal muncul dari konflik politik besar yang menyebabkan terjadinya aliran teologi dalam islam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar