Senin, 26 Maret 2012

SEJARAH MUNCULNYA PSIKOLINGUISTIK

BAB I
PENDAHULUAN

            Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleksitas manusia, selain berkenaan dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung secara makanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik. Dengann kata lain, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan otak. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antar disiplin antara linguistik dan psikologi, yang dikenal psikolinguistik.[1]
            Pada awalnya, psikolinguistik bukanlah ilmu mandiri yang dikaji secara khusus. Psikolinguistik merupakan ilmu yang dikaji secara terpisah baik oleh pakar linguistik maupun pakar psikologi. Psikolinguistik suatu istilah pertama kali digunakan oleh Thomas A. Sebeok dan Charles E. Osgood pada tahun 1954. Walaupun sebetulnya, pengkajian ilmunya telah dimulai sejak zaman Sokrates dan Panini.[2]
            Dua aliran filsafat, yakni empirisme dan rasionalisme turut berkontribusi dalam perkembangan pemikiran para ilmuan di dua ranah ilmu tadi. Filsafat empirisme menganggap bahwa ilmu merupakan objek kajian yang dapat dikenali secara inderawi. Filsafat ini erat kaitannnya dengan psikologi asosiasi. Aliran ini mengkaji objek ilmu dengan menganalisis unsur-unsur pembentuknya sampai sekecil-kecilnya. Aliran filsafat rasionalisme mengkaji bahwa akal sebagai faktor yang harus dikaji agar memahami perilaku manusia.
 

BAB II
PEMBAHASAN

A. LINGUISTIK DAN PSIKOLOGI SERTA HUBUNGANNYA
1.     Linguistik
Secara  etimologis, kata linguistik  berpadanan dengan kata linguistics dalam bahasa Inggris, linguistique dalam bahasa Perancis, lingua dalam bahasa Italia, lengue dalam bahasa Spanyol, dan linguistiek dalam bahasa Belanda yang berasal dari bahasa latin ”lingua”  yang berarti ”bahasa”.[3] Kemudian kata tersebut diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi linguistik yang dapat diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mentelaah bahasa sebagai objek kajiannya secara ilmiah.[4]
Sejalan dengan pendapat di atas, secara terminologis dikemukakan Varshney dalam Tien bahwa linguistik adalah  ilmu yang mempelajari bahasa, tidak hanya mempelajari bahasa tertentu tetapi mempelajari bahasa manusia secara umum.[5]
Sedangkan menurut pendapat ’Athiyah sebagaimana dikutip oleh Sahkholid Nasution menyebutkan, bahwa linguistik adalah:

”Sebuah istilah tentang pengkajian secara ilmiah terhadap suatu bahasa . Yaitu  ilmu yang menjadikan bahasa sebagai obyek kajiannya”.[6]
Dengan demikian, linguistik mempelajari bahasa sebagai suatu universal dan bagian perilaku manusia yang dapat dikenali. Linguistik berusaha untuk menjelaskan dan menganalisis bahasa. Bidang kajian lingusitik mengkaji bahasa dalam semua bentuk dan manifestasinya. Linguistik bertujuan untuk mencari suatu pemahaman  keilmuan dari tempat dan bahasa dalam kehidupan manusia, metode atau cara-cara linguistik diorganisasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam memberikan pelayanan dan pelaksanaan fungsi kebahasaan.
Dalam kaitannya dengan psikologi, linguistik lazim diartikan sebagai ilmu yang muncoba mempelajari hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh, bagaimana bahasa itu bekerja, dan bagaimana bahasa itu berkembang. Dalam konsep ini tampak bahwa yang namanya psikolinguistik dianggap sebagai cabang dari linguistik, sedangkan linguistik itu sendiri dianggap sebagai cabang dari psikologi.
     
      2.    Psikologi
 Psikologi merupakan alih kata dari bahasa Inggris ”psychology” yang berasal dari bahasa Yunani ”psyche” yang berarti jiwa, roh, atau sukma dan ”logos” yang berarti ilmu. Jadi, secara etimologis psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa.[7] Sedangkan secara terminologis menurut Sarwono sebagaiman dikutip oleh Tien Rafida mengemukakan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan.[8]  Atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hubungan-hubungan antar manusia.[9]
Dalam perkembangannya, psikologi telah menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik, yang bahavioristik, dan yang kognitifistik.
Psikologi yang mentalistik melahirkan aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan utama psikologi kesadaran adalah mencoba mengkaji proses – proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi atau mengkaji diri. Oleh karena itu, psikologi kesadaran lazim juga disebut psikologi introspeksionisme. Psikologi ini merupakan suatu proses akal dengan cara melihat kedalam diri sendiri setelah suatu stimulus terjadi.
Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran yang disebut psikologi perilaku. Hal yang menjadi tujuan utama psikologi perilaku ini adalah mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku itu. Para pakar psikologi behavioristik ini tidak berminat mengkaji proses - proses akal yang membangkitkan perilaku tersebut karena proses - proses akal ini tidak dapat diamati atau diobservasi secara langsung. Jadi, para pakar psikologi perilaku ini tidak mengkaji ide - ide, pengertian, kemauan, keinginan, maksud, pengharapan, dan segala mekanisme fisiologi. Yang dikaji hanyalah peristiwa - peristiwa yang dapat diamati, yang nyata dan konkret, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia.
Psikologi yang kognitifistik biasanya disebut psikologi kognitif mencoba mengkaji proses - proses kognitif manusia secara ilmiah. Yang dimaksud kognitif adalah proses -proses akal manusia yang bertanggung  jawab mengatur pengalaman dan perilaku manusia. Hal utama yang dikaji oleh psikologi kognitif adalah bagaimana cara manusia memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan, mengeluarkan, dan menggunakan pengetahuannya, termasuk perkembangan dan penggunaan pengetahuan bahasa. Perbedaannya dengan psikologi kesadaran adalah bahwa menurut paham mentalisme proses - proses akal itu berlangsung setelah terjadinya rangsangan. Sedangkan menurut psikologi kognitif proses - proses akal itu dapat terjadi karena adanya kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih dahulu.kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih dahulu. Perilaku yang muncul sebagai hasil proses akal seperti ini disebut perilaku, perbuatan atau tindakan.[10]
Psikologi sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia dalam segala kegiatannya yang sangat luas. Oleh karena itu, muncullah berbagai cabang psikologi yang diberi nama sesuai dengan penerapannya. Diantara cabang-cabang itu adalah psikologi sosial, psikologi perkembangan, psikologi klinik, psikologi komunikasi, dan psikologi bahasa (psikolinguistik).

                        3. Korelasi Antara Psikologi dan Linguistik
Kerjasama dan hubungan secara langsung antara linguistik dan psikologi sebenarnya sudah dimulai sejak 1860 yaitu, oleh Heyman Steintthal, seorang ahli psikologi yang beralih menjadi ahli linguistik, dan Moriz Lazarus seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi dengan menrbitkan sebuah jurnal yang khusus membicarakan masalh psikologi bahasa dari sudut linguistik dan psikologi.[11]
Psikologi dan linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing - masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun, keduanya sama - sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuan berbeda, tetapi banyak juga bagian – bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan. Oleh karena itulah, telah lama dirasakan perlu adanya kerja sama di antara kedua disiplin ini untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Dengan kerja sama kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Dasar - dasar psikolinguistik menurut beberapa pakar didalam buku yang dikeluarkan oleh Osgood dan Sebeok diatas sebagaimana dikutip Chaer adalah sebagai berikut:
1.                  Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai sebuah sistem elemen yang saling berhubungan erat.
2.                  Psokolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut teori behaviorisme) berdasarkan bahasa yang dianggapnsebagainsatu sistem tabiat dan kemampuan yang menghubungkan isyarat dengan perilaku.
3.                  Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat untuk menyampaikan suatu benda.[12]
            Pada tahun 1901, Albert Thumb (ahli linguistik) dan Karl Marbe (ahli psikologi) menerbitkan  buku berjudul Experimentelle Untersuchungen iiber die PsychologishenGrundallen der Sparchichen Analogiebieldung. Kedua pakar tadi menggunakan kaidah-kaidah psikologi eksperimental untuk meneliti hipotesis-hipotesis linguistik yang menghasilkan pengaruh sangat kuat akan lahirnya psikolinguistik.
            Sebuah lembaga sosial Amerika bernama Social Science Research Council menyelenggarakan sebuah seminar tahun 1951 mempertemukan para pakar linguistik, psikologi, patologi, ahli-ahli teori informasi, dan pembelajaran bahasa. Merekamerumuskan hubungan kerjasama antara psikologi dan linguistik. Kemudian pada tahun 1953, Osgood (ahli linguistik), Sebeok (ahli linguistik), dan Caroll (ahli psikologi) bertemu dalam seminar di Universitas Indiana Amerika Serikat. Pertemuan ini menghasilkan buku Pscholinguistics : A Survey of Theory and Research Problems. Buku ini kemudian disunting oleh Osgoods dan Sebeok. Inilah buku psikolinguistik pertama yang menggunakan istilah psikolinguistik. Sebelumnya Albert Thumb dan Karl Marbe tidak memakai nama itu. Tahun 1946, N.H. Pronko dalam artikelnya yang berjudul “Language and Psycholinguistics : A Review” dimuat dalam jurnal Psychological Bulletin. Pronko mengaku istilah psikolinguistiknya diperoleh dari gurunya Jacob Robert Kantor dalam buku An Objective Psycology of Grammar pada tahun 1936 sebagai sintesitas istilah Jerman yaitu Sprachpsychologie.[13]
                      
B. PSIKOLINGUISTIK SEBAGAI DISIPLIN ILMU
            Dibukanya program khusus psikolinguistik pada tahun 1953 oleh R. Brown merupakan tanda formal ilmu ini adalah disiplin mandiri. Sarjana pertama disiplin ilmu ini adalah Eric Lenneberg. Pakar lain yang kemudian muncul adalah Leshley, Osgoods, Skinner, Chomsky, dan Miller yang kesemuanya sangat berjasa bagi perkembangan psikolinguistik.
            Pada tahun 1957 Skinner menerbitkan buku Verbal Behaviour. Pada tahun yang sama Chomsky mengeluarkan buku Syntactic Structure. Kemudian Leshley berpendapat bahwa lahirnya suatu ucapan bukanlah pertalian serentetan respons tetapi merupakan kejadian serentak, dan secara tidak langsung struktur sintaksis ucapan itu dihubungkan dengan bentuk urutannya.
            George Miller dalam artikelnya yang berjudul “The Psycolinguistics” (1965) menjelaskan bahwa lahirnya ilmu psikolinguistik karena kontribusi ilmu psikologi yang mengakui bahwa akal manusia menerima lambang-lambang linguistik, sedangkan linguistik mengakui bahwa diperlukan psiko-motor-sosial untuk menggerakkan tata bahasa. Miller pun memperkenalkan teori generatif transformasi Chomsky yang menganggap bahwa bahasa merupakan kemampuan manusia yang sangat rumit. Oileh karena itu, tugas peikolinguiatik adalah meneliti kemampuan yang rumit itu dengan terperinci. Miller pun menegaskan bahwa bahasa bukan hanya mempermasalahkan arti tetapi bagaimana kemampuan manusia dalam mengatur saraf-saraf atau kalimat-kalimat baru yang sangat berguna.
            Jika disimpulkan, pada awalnya, psikolinguistik beraliran behaviorisme. Namun, berdasarkan perkembangannya yang bersifat mentalis dan mencoba menjelaskan hakikat rumus yang dihipotesiskan, maka kajian psikolinguistik pun semakin berkembang pada arah kognitif. Lahirnya tata bahasa generatif oleh Chomsky merupakan inovasi tersendiri di bisang ini. Oleh karena itu, Chomsky disebut sebagai “Bapak Linguistik Modern”  sedangkan Wilhem Wundt disebut sebagai “Bapak Psikolinguistik Klasik”.[14]
Pada awal perkembangannya psikolinguistik bermula dari adanya pakar linguistik yang beminat pada psikologi, dan adanya pakar psikologi yang berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya kerja sama antara pakar linguistic dan pakar psikologi. Dan kemudian muncullah pakar-pakar psikolinguistik sebagai disiplin mandiri.
Psikolinguistik adalah ilmu hibrida atau ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu yaitu psikologi dan linguistik. Benih ilmu ini sebenarnya sudah tampak pada permulaan abad ke- 20 tatkala psikolog Jerman Wilhelm Wundt menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis. Pada waktu itu bahasa mulai mengalami perubahan dari sifatnya yang estetik dan cultural ke suatu pendekatan yang ilmiah.
Sementara itu di benua Amerika kaitan antara bahasa dengan ilmu jiwa mulai tumbuh. Perkembangan ini dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu:[15]

1. Tahap formatif
Pada pertengahan abad ke 20 John W. Gardner, seorang psikolog dari Amerika, mulai menggagas hibridisasi  kedua ilmu ini. Kemudian dikembangkan oleh John B. Carroll yang pada tahun 1951 menyelenggarakan seminar di Universitas Cornell, untuk merintis keterkaitan kedua disiplin ilmu ini. Dan pertemuan itu dilanjutkan pada tahun 1953 di Universitas Indiana.
Hasil dari pertemuan ini membuat gema yang begitu kuat diantara para ahli ilmu jiwa maupun ahli bahasa, sehingga banyak penelitian yang kemudian dilakukan terarah pada kaitan kedua ilmu ini. Pada saat itulah istilah psikolinguistik pertama kali dipakai.
Karya-karya pertama dalam bidang psikolinguistik diantaranya tentang universal bahasa dalam karya Greenberg.
 
2. Tahap linguistik
Pada tahap ini psikolinguistik banyak diminati orang, dan makin berkembang karena pandangan Chomsky tentang universal bahasa makin mengarah pada pemerolehan bahasa.

3. Tahap kognitif
Pada tahap ini psikolinguistik mulai mengarah pada peran kognisi dan landasan biologis manusia dalam pemerolehan bahasa. Pelopor seperti Chomsky mengatakan bahwa linguis itu sebenarnya adalah psikolog kognitif. Pemerolehan bahasa pada manusia bukanlah penguasaan komponen bahasa tanpa berlandaskan pada prinsip-prinsip kognitif. Tatabahasa misalnya tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terlepas dari kognisi manusia.
Pada tahap ini orang juga mulai berbicara tentang peran biologi pada bahasa karena mereka mulai merasa bahwa biologi merupakan landasan dimana bahasa itu tumbuh. Orang-orang seperti Chomsky mengatakan bahwa pertumbuhan bahasa seorang manusia itu terkait secara genetic dengan pertumbuhan biologinya.

4. Tahap teori psikolinguistik
Pada tahap akhir ini, psikolinguisti tidak lagi berdiri sebagai ilmu yang terpisah dari ilmu-ilmu lain karena pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia menyangkut banyak cabang ilmu pengetahuan yang lain.
Dengan demikian psikolinguistik kini telah menjadi ilmu yang ditopang oleh ilmu-ilmu yang lain.

                                                            C. GENERASI DALAM PSIKOLINGUISTIK
                              Sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan psikolinguistik yang dikemukakan dalam sebuah artikel  yang berjudul ”Vers une Modelle Psycholinguistique du Locuteur” yang ditulis oleh Mehler dan Noizet bahwa ada tiga generasi dalam psikolinguistik adalah sebagai berikut:

                  1. Psikolinguistik Generasi pertama
                              Psikolinguistik generasi pertama adalah psikolinguistik dengan para pakar yang menulis artikel dalam kumpulan karangan berjudul psycholinguistics : A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok. Titik pandang Osgood dan Sebeok berkaitan erat dengan aliran behaviorisme (aliran perilaku) atau lebih tepat lagi aliran neobehaviorisme. Teori – teori ini mengidentifikasikan bahasa sebagai stu sistem respon yang langsung dan tidak langsung terhadap stimulus verbal dan nonverbal. Orientasi stimulus respons ini adalah orientasi psikologi.
                              Menurut Parera sebagaimana yang terdapat dalam Abdul Chaer dikemukakan bahwa generasi pertama memiliki titik kelemahan, antara lain:
·         adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa yang memandang bahwa bahasa bukanlah satu tindakan atau perbuatan manusiawi melainkan dipandang sebagai satu stimulus-respons.
·         psikolinguistik bersifat atomistik. Sifat ini nampak jelas ketika Osgoods mengungkapkan teori pemerolehan bahasa bahwa jumlah pemerolehan bahasa adalah kemampuan untuk membedakan kata atau bentuk yang berbeda, dan kemampuan untuk melakukan generalisasi.
·         bersifat individualis. Teorinya menekankah pada eprilaku berbahasa individu-individu yang terisolasi dari amsyarakat dan komunikasi nyata.
                              Tokoh lain dari generasi pertama ini adalah L. Bloomfield. Beliau adalah tokoh linguistik Amerika yang menerima dan menerapkan teori - teori behaviorisme dalam analisis bahasa. Teknik analisis bahasa dan pandangannya tentang hakikat bahasa sama dengan pandangan dan teori psikolinguistik perilaku.
Kemudian ada juga tokoh lain dari psikolinguistik generasi pertama, dan yang dianggap sebagai tokoh utama adalah B. F. Skonner. Beliau menjadi tokoh yang kemudian ditentang oleh Noam Chomsky yang menganut aliran kognitif dalam proses berbahasa. Namun, teori - teori Skinner inilah yang dianut oleh teori - teori linguistik aliran Bloomfield.[16]

                  2. Psikolinguistik Generasi Kedua
            Karena pada psikolinguistik generasi pertama tidak menjawab banyak masalah proses berbahasa, dan teori - teori itu kekurangan daya penjelas, maka diperlukan teori yang lain dalam psikolinguistik. Lahirlah teori –teori psikolinguiatik generasi kedua, dengan dua tokoh utamanya yakni Noam Chomsky dan George Miller.
            Menurut Mehler dan Noizet, psikolinguistik generasi kedua telah dapat mengatasi ciri – ciri atomistik dari psikolinguistik Osgood-Sebeok. Psikolinguistik generasi kedua berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir – butir bahasa yang diperoleh, melainkan kaidah dan sistem kaidahlah yang diperoleh.
            G.S. Miller dan Noam Chomsky menyatakan beberapa hal tentang psikolinguistik generasi kedua ini dalam artikel “Some Preliminaries to Psycholinguistics”:
·         Dalam komunikasi verbal, tidak semua ciri-ciri fisiknya jelas dan terang, dan tidak semua ciri-ciri yang etrang dalam ujaran mempunyai representasi fisik.
·         Makna sebuah tuturan tidak boleh dikacaukan dengan apa yang ditunjukkan. Makna adalah sesuatu yang sangat kompleks yang menyangkut antar hubungan simbol-simbol atau lambang-lambang. Respon yang terpenggal-penggal terlalu menyederhanakan manka secara keseluruhan.
·         Struktur sintaksis sebuah kalimat terdiri atas satuan-satuan interaksi antara makna kata yang terdapat dalam kalimat tersebut. Kalimat-kalimat itu tersusun secara hierarkis, tetapi belum cukup menjelaskan wujud luar linguistik.
·         Jumlah kalimat dan jumlah makna yang dapat diejawantahkan tidak terbatas jumlahnya. Pengetahuan seseorang akan bahasa harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang menyusun bahasa dalam sisitem sintaksis dan semantik.
·         Harus dibedakan antara pendeksripsian bahasa denga pendeskripsian pemakaian bahasa. Seorang ahli psikolinguistik harus merumuskan model-model pengejawantahan bahasa yang dapat meliputi pengetahuan kaidah bahasa.
·         Ada komponen biologis yang besar untuk menentukan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa ini tidak tergantung apada intelegensi dan besarnya otak, melainkan bergantung pada “manusia”.[17]

                  3. Psikolinguistik Generasi Ketiga
            Psikolinguistik generasi kedua menyatakan bahwa analisis mereka mengakui bahasa telah melampaui batas kalimat. Namun, pada kenyataannya, analisis mereka baru sampai pada tahap kalimat saja, belum pada wacana. Kekurangan analisis pada psikolinguistik generasi kedua kemudian diperbaharui oleh psikolinguistik generasi ketiga. G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics memberi karakteristik baru ilmu ini sebagai “psikolinguistik baru”. Beberapa ciri psiklonguistik generasi ketiga ini adalah:
·         Orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. Seperti yang diungkapkan Fresse dan Al Vallon dan psikolog Uni Soviet, telah terjadi proses serempak dari informasi psikologi dan linguistik.
·         Keterlepasan mereka dari kerangka “psikolinguistik kalimat”, dan lebih mengarah pada “psikolnguistik situasi dan konteks”.
·         Adanya pergeseran dari analisis proses ujaran yang abstrak ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran.
            Sebetulnya, psikolinguistik di Rusia lebih dahulu berkembang dari pada di negara-negara Barat. Hal ini terjadi karena sejak awal psikolinguistik di Rusia telah memperhitungkan perilaku komunikasi dan perpikiran dalam analisis psikolinguistik. Selain itu, psikolinguistik di Rusia dikenal dengan istilah “Teori Aktivitas Ujaran” yang mendasarkan dirinya pada postulat bahwa perilaku  manusia bersifat aktif, porpusif, dan inovatif. Postulat ini di negara batar belum tercapai.
            Ketiga ciri utama dari psikolinguistik generasi ketiga ini menunjukkan telah terjadinya satu peningkatan kualitatif dalam perkembangan psikolinguistik di negara – negara Barat. Namun, menurut Leontive (1981) dibandingkan dengan perkembangan linguistik di Eropa, maka osikolinguistik di Rusia sudah lebih dulu berkembang karena sejak awal psikolinguistik di Rusia telah memperhitungkan jurus komunikasi dan pikiran dalam analisas psikolinguistik.[18]

                                                                                                                           
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Dari pembahasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa lahirnya psikolinguistik sebagai sebuah disiplin ilmu semula dirintis oleh ahli-ahli linguis yang berminat dalam psikologi dan ahli-ahli psikologi yang berminat dalam linguistik. Para linguis memandang bahasa sebagai objek kajian linguistik, dan para psikolog memandang berbahasa sebagai salah satu objek kajian psikologi. Kedua objek kajian itu, yaitu bahasa dan berbahasa tidak mungkin dipisahkan, meskipun bisa saja dibedakan. Dengan demikian, bila seorang linguis ingin mengkaji bahasa, maka ia sedikit banyak harus terlibat juga dalam pengkajian  proses berbahasa. Sebaliknya, bila seseorang psikolog ingin mengkaji proses berbahasa, maka ia sedikit banyak harus telibat juga dalam pengkajian bahasa, hakikat bahasa, kelahiran bahasa, peran dan fungsi bahasa, struktur bahasa dan sebagainya.
            Disamping itu, munculnya psikolinguistik juga tidak terlepas dari dua aliran yang saling bertentangan yang sangat mempengaruhi perkembangan linguistic dan psikologi. Aliran yang pertama disebut Empirisme, dan yang kedua disebut Rasionalisme.
B. Saran
            Semoga makalah singkat ini dapat memberikan kontribusi kepada kita semua dan kami sebagai pemakalah mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kami mengharapkan kepada pembaca saran yang membangun demi kebaikan kita bersama kedepan.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul, Psikolinguistik Kajian Teoretik, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, Cet, Ke-2.
Dardjowadjojo, Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Nasution, Sahkholid, Pengantar Linguistik, Medan: IAIN PRESS, 2010.
Rafida, Tien, Psikolinguistik: Pendekatan dan Konsep Psikologi Untuk Pembelajaran Bahasa, Bandung: Citapustaka, 2007.     
Tarigan, Henry Guntur, Psikolinguistik, Bandung: Angkasa, 1984.
                 


                [1] Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Cet. Ke-2, h. 1.
                [2] Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 2.
                [3] Tien Rafida, Psikolinguistik: Pendekatan dan Konsep Psikologi Untuk Pembelajaran Bahasa, (Bandung: Citapustaka, 2007), h. 39.  
                [4] Sahkholid Nasution, Pengantar Linguistik, (Medan: IAIN PRESS, 2010), h. 2.
                [5] Tien Rafida, Op. Cit., h. 39.
                [6] Sahkholid Nasution, Op. Cit., h. 3.
                [7] Wasty Soemanto, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 14. 
                [8] Tien Rafida, Op.Cit., h. 15.
                [9] Wasty Soemanto, Op.Cit., h. 14.
                [10] Abdul Chaer, Op. Cit., h. 2-3.
                [11] Ibid., h. 16.
                [12] Ibid., h. 17-18.
                [13] Ibid., h. 17.
                [14] Ibid., h. 18-20.
[15] Soenjono Dardjowadjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 1-6.

                [16] Abdul Chaer, Op. Cit., h. 20-23.
                [17] Ibid., h. 23-25.
                [18] Ibid., h. 25-27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar