Selasa, 27 Maret 2012

PERJANJIAN HUDAIBIYYAH

BAB I
PENDAHULUAN
Perjanjian Hudaibiyyah merupakan tonggak sejarah yang agung dalam perjalanan dakwah Islamiyah. sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan Mekkah pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-6 hijriyah. Melalui perjanjian ini penyebaran Islam semakin melesat secepat panah keluar dari busurnya.  Dimana tatkala Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar menuju Hudaibiyah bersama 1400 orang, kemudian beliau keluar dalam rangka Fathu Makkah setelah berselang dua tahun dari Peristiwa hudaibiyyah bersama 10.000 umat muslim, ini merupakan suatu kemenangan diplomatik yang besar bagi perkembangan Islam.[1]
Banyak sekali pelajaran-pelajaran dari peristiwa ini yang patut kita renungkan dan resapi. Agar kita bisa mencontoh dan menerapkannya ke dalam kehidupan kita. Dan di dalam penggalan siroh nabawiyah ini masih banyak hikmah-hikmah lain yang perlu kita pelajari agar diperoleh suatu khazanah ilmu pengetahuan yang menyeluruh dalam kisah ini, baik dari segi aqidah, fiqih, mu’amalat, strategi dakwah dan lain-lainnya.


BAB II
PEMBAHASAN

1. PERJANJIAN HUDAIBIYYAH
Perjanjian Hudaibiyyah (صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M atau pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-6 hijriyah. Hudaibiyah itu sendiri adalah nama sebuah tempat yang berjarak 22 km sebelah barat daya Makkah, sisi-sisinya termasuk perbatasan tanah haram Makkah dan sebagian besar tidak termasuk.[2]
Adapun garis besar Perjanjian Hudaibiyyah berisi : "Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad SAW dan Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad SAW, diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad SAW tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad SAW akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Makkah"

2. LATAR BELAKANG TERJADINYA PERJANJIAN HUDAIBIYYAH
Pada tahun 628 M/ 6 H. Ketika ibadah haji telah disyari’atkan, nabi beserta sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji bukan untuk berperang. Karena itu mereka tidak membawa senjata. Rasulullah menyeru orang-orang Arab para penduduk desa yang berada di sekitar Madinah untuk keluar bersamanya, sehingga mereka menuju Makkah dalam jumlah yang banyak. Sebab beliau khawatir jika orang-orang Quraisy akan menghalangi dan memerangi mereka sebelum tiba di Baitullah. Tetapi banyak juga dari penduduk desa ini yang merespon panggilan ini dengan lambat bahkan menolaknya. Lalu beliau keluar bersama kaum Muhajirin, Anshor dan kabilah-kabilah Arab lainnya.[3]
Rasulullah juga membawa sejumlah hewan qurban, beliau membawa sekitar 700 unta, agar memberikan rasa aman bagi mereka bahwa umroh ini bertujuan untuk berziarah dan mengagungkan  baitullah. Walaupun begitu kaum Quraisy menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah. Pada waktu itu, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Makkah, karena Makkah adalah tempat suci.
Akhirnya kaum Muslim menyetujui inisiatif Nabi Muhammad, bahwa jalur diplomasi lebih baik daripada berperang. Kejadian ini dituliskan pada surah Al-Fath ayat 4 :

“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Sesampainya rombongan di Dzul Hulaifah  mereka berhenti untuk mendirikan sholat dan mulai mengenakan pakaian ihram. Rasulullah memasang kalung di sejumlah leher binatang sebagai tanda bahwa binatang itu dipersiapkan untuk korban. Rasulullah menugaskan Basar bin Sufyan al-Khuza’i melakukan kegiatan spionase (memata-matai) terlebih dulu di tengah-tengah pihak Quraisy, untuk mencari informasi tentang keadaan, sikap dan langkah mereka terhadap rombongan Rasulullah.[4]
Setelah rombongan sampai di Rauha, Rasulullah mendapat kabar bahwa musuh siap menyerang. Lalu beliau mengirim beberapa sahabat untuk memastikan hal itu. Rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Setibanya di Usfan mereka bertemu dengan Basar bin Sufyan al-Khuza’i, lalu ia melapor kepada Rasulullah bahwa orang-orang Quraisy telah mendengar kabar kedatangan beliau, kemudian mereka membawa anak istri  keluar dari Makkah sambil bertekad untuk tidak mengizinkan beliau memasuki Makkah. Sementara itu Kholid bin Walid dan tentaranya sudah menghadang di Kira’ al-Ghamim. Rasulullah bersama sahabat di Usfan mendirikan sholat Khauf, karena suasana yang genting di sana.[5]
Rasulullah langsung mengajak para sahabat bermusyawarah. Beliau mengusulkan untuk menyerang beberapa perkampungan yang bersekutu dengan Quraisy, agar mereka minta bantuan kepada Quraisy untuk mempertahankan wilayah dari serangan kaum muslimin. Namun Abu Bakar mengingatkan Rasulullah kalau mereka pergi dengan tujuan untuk umroh bukan untuk berperang, bila nanti ada yang menghalangi maka terpaksalah ia dibunuh. Akhirnya Nabi Muhammad pun menyetujui usul ini.
Kemudian Rasulullah dan para sahabat mencari jalan lain di perjalanan untuk menghindari kontak fisik dengan pihak musyrikin. Setelah rombongan Rasulullah berhenti di Hudaibiyyah, maka terjadilah saling kirim mengirim utusan antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin. Tetapi Quraisy tampaknya masih keras kepala dan bersikukuh untuk tidak mengizinkan rombongan para sahabat memasuki Makkah. Mereka takut bila kaum muslimin berhasil masuk Makkah, orang-orang Arab akan mempergunjingkan kejadian ini.
Rasulullah kemudian ingin mengutus Umar bin Khattab namun diganti oleh Utsman bin Affan, karena Umar menunjukkan permusuhannya yang hebat terhadap Quraisy dan Quraisy mengetahui hal itu, di samping itu kaumnya yakni, Bani ‘Adi tak dapat melindunginya.[6]
Usman bin Affan tak lama kemudian pergi menemui para tokoh Quraisy setelah terlebih dahulu minta jaminan keamanan kepada  Abban bin Sa’ad bin al-‘Ash al-Umawi. Lalu dengan jaminan perlindungan itu ia menyampaikan maksud dan tujuan Rosululloh kepada tokoh-tokoh Quraisy. Utsman melakukan tugasnya dengan baik, sampai-sampai para tokoh Quraisy mempersilakannya thawaf di Masjidil Haram. Tetapi Utsman menolaknya sebelum Rosululloh mendahului thawaf dulu sebelum dia tawaf di Masjidil Haram. Perkataan ini berakibat ia ditawan oleh Quraisy.[7] Keterlambatan Utsman kembali ke barisan kaum muslimin membuat sebagian kaum muslimin berkata bahwa Utsman telah mendahului mereka thawaf di Baitullah. Namun Rosululloh dengan tegas menyatakan bahwa Utsman tidak akan melakukannya hingga kaum muslimin thawaf bersamanya.[8]
Maka terdengarlah isu bahwa Utsman terbunuh di tangan orang-orang Quraisy. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung mengumpulkan para sahabatnya untuk berbai’at di bawah sebuah pohon yang bernama Sammuroh. Mereka semua berbai’at untuk membalaskan kematian Utsman sampai titik darah penghabisan.[9] Berkenaan dengan peristiwa tersebut Allah menurunkan surat al-Fath ayat 10, Allah berfirman :

“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar.”

Tetapi pada saat yang genting itu, tiba-tiba Utsman muncul kembali di tengah-tengah mereka, tepat setelah bai’at berlangsung. Paska Bai’at tersebut dari pihak Quraisy mulai mengutus beberapa orang utusan untuk melakukan negosiasi dan perundingan dengan kaum muslimin. Sampai pada akhirnya datanglah Suhail bin Amru. Terjadilah dialog yang panjang antara Suhail dan Rasulullah, akhirnya tercapailah kesepakatan atau perjanjian dari kedua belah pihak yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyyah.[10] yang isinya adalah sebagai berikut :
Keduanya telah sepakat untuk menghentikan perang selama 10 tahun, di mana dalam masa waktu tersebut orang-orang memperoleh keamanan serta sebagian mencegah diri untuk tidak melakukan penyerangan terhadap sebagian yang lain, dengan ketentuan bahwa siapa di antara orang-orang Quraisy yang datang ke pihak Muhammad tanpa memperoleh izin dari walinya, maka dia harus mengembalikanorang tersebut kepada mereka, dan siapa di antara pengikut Muhammad yang datang ke pihak Quraisy, maka Quraisy tidak berkewajiban mengembalikan orang itu kepadanya”.
Dan sesungguhnya masing-masing pihak saling menahan diri, tidak boleh ada pencurian tersembunyi atupun penghianatan dan sesungguhnya barangsiapa ingin masuk dalam satu ikatan persekutuan dan perjanjian dengan Muhammad, maka dia boleh masuk ke dalamnya, dan barangsiapa lebih suka masuk dalam ikatan persekutuan dan perjanjian dengan Quraisy, maka dia bebas masuk ke dalamnya.
Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) harus balik meninggalkan kami tahun ini, dan jangan masuk Makkah dan sesungguhnya jika tahun depan tiba, kami akan keluar memberikan keleluasaan padamu bersama pengikutmu masuk Makkah, kemudian tinggal di sana selama tiga hari, dan untuk itu engkau boleh membawa senjata pengendara (pedang dalam sarungnya); dan jangan masuk dengan senjata lain selain itu.

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG DILAKUKANNYA PERJANJIAN HUDAIBIYAH
Kesediaan orang-orang Makkah untuk berunding dan membuat perjanjian dengan kaum muslimin itu benar-benar merupakan kemenangan diplomatik yang besar bagi umat islam. Dengan perjanjian, harapan untuk mengambil alih Ka’bah dan Makkah sudah makin terbuka untuk merebut dan menguasai Makkah agar dapat menyiarkan Islam kedaerah-daerah lain, ini merupakan target utama beliau. Ada dua faktor dasar yang mendorong kebijaksanaan ini yaitu :
1.      Makkah adalah pusat keagamaan bangsa Arab dan melalui konsolidasi ini, Islam bisa tersebar keluar.
2.      Apabila suku nabi sendiri dapat diislamkan, Islam akan mendapat dukungan yang kuat karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar.[11]
Tidak diragukan lagi bahwa Perjanjian Hudaibiyah adalah suatu kemenangan yang nyata. Sejarah pun mencatat bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa depan Islam dan masa depan orang-orang Arab itu semua. Ini adalah yang pertama kali pihak Quraisy mengakui Muhammad, bukan sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah. Dan sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam itu. Kemudian juga suatu pengakuan bahwa Muslimin pun berhak berziarah ke Ka’bah serta melakukan ibadah haji, bahwa Islam adalah agama yang sah diakui sebagai salah satu agama di jazirah itu. Selanjutnya gencatan senjata yang selama sepuluh tahun membuat pihak Muslimin merasa lebih aman dari jurusan selatan tidak kuatir akan mendapat serangan Quraisy, yang juga berarti membuka kesempatan bagi Negara Islam Madinah untuk berkonsentrasi menyebarkan dakwah Islam ke arah utara Jazirah Arab.
Kenyataan lain adalah setelah persetujuan perletakan senjata itu dakwah Islam tersebar luas berlipat ganda lebih cepat daripada sebelumnya. Hampir seluruh jazirah Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan menggabungkan diri dalam Islam. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiyyah ketika itu sebanyak 1400 orang. Tetapi dua tahun kemudian, tatkala Muhammad saw hendak membuka Mekah jumlah mereka yang datang sudah 10.000 orang.
Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi tersebut membuktikan ketepatan kebijakan Rasulullah saw,  Membuktikan pula bahwa ketika Rasulullah membuat Perjanjian Hudaibiyah Rasulullah saw telah meletakkan dasar yang kokoh sekali dalam kebijaksanaan politik dan penyebaran Islam.


BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa Perjanjian Hudaibiyyah  merupakan sebuah komitmen yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan Makkah sebagai senjata bagi umat islam untuk memperkuat dirinya.
Dengan menelaah secara teliti penggalan siroh nabawiyah ini pula, akan semakin menambah keyakinan kita bahwa memang Islam adalah agama yang sempurna, tidak ada satupun celah yang tertinggal, kecuali Islam telah memberikan solusinya dengan tepat dan mantap melalui perjanjian ini.

B. SARAN
Semoga makalah singkat ini dapat memberikan kontribusi kepada kita semua dan saya sebagai pemakalah mengakui bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saya mengharapkan kepada pembaca saran yang membangun.
 

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mahdi Rizqullah, Biografi Rasulullah, Jakarta: Qisthi Press, 2008, Cet. Ke-3.
al-Umuri, Akram Dhiya’, Shahih Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2010, Cet. Ke-1.
az-Zaid, Zaid bin Abdul Karim, Fikih Sirah, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2009, Cet. Ke-1.
Hisyam, Ibnu, as-Siroh an-Nabawiyah, Beirut: Dar Ihya’ at-Turots al-Arobiy, 1997, Juz 3, Cet. Ke-2.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.


[1] Ibnu Hisyam, as-Siroh an-Nabawiyah, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turots al-Arobiy, 1997), Juz 3, Cet. Ke- 2, h. 351-352.
[2] Akram Dhiya’ al-Umuri, Shahih Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2010), Cet. Ke-1, h. 457.
[3] Ibnu Hisyam, Op. Cit., h. 351.
[4] Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, (Jakarta: Qisthi Press, 2008), Cet. Ke-3, h. 633.
[5]Ibid., h. 633.
[6] Akram Dhiya’ al-Umuri, Op. Cit., h. 642.
[7] Mahdi Rizqullah Ahmad, Op. Cit., h. 638.
[8] Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, Fikih Sirah, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2009), Cet. Ke-1. h. 465.
[9] Ibid., h. 639.
[10] Ibid., h. 642.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar